Kita bahkan seringkali menerima tanpa tahu mengapa. Jangankan untuk mengetahui mengapa, kita acapkali justru tidak menyadarinya. Kita telah dibentuk dan dibelenggu oleh budaya. Kita tidak memberi ruang dan kemungkinan untuk melihat jauh di luar tembok kultural.
Apa yang kita baca pada kisah pertobatan Kornelius merupakan salah satu contohnya. Pertemuan di rumah Kornelius merupakan perjumpaan dua kelompok budaya: Yahudi (10:45-48) dan Yunani (10:25-27, 33).Â
Perjumpaan seperti ini jelas hal yang luar biasa. Di awal khotbahnya Petrus menjelaskan: "Kamu tahu, betapa kerasnya larangan bagi seorang Yahudi untuk bergaul dengan orang-orang yang bukan Yahudi atau masuk ke rumah mereka" (10:28).
Ketika orang-orang Yahudi yang menyertai Petrus melihat bagaimana Roh Kudus turun atas bangsa lain, respons spontan mereka adalah "tercengang-cengang" (10:45).Â
Bahkan ketika berita pertobatan Kornelius didengar oleh jemaat di Yerusalem dan Petrus juga telah kembali ke sana, golongan Kristen Yahudi langsung menyalahkan Petrus (11:1-3). Mereka lebih berfokus pada apa yang dilakukan oleh Petrus daripada apa yang dilakukan oleh Allah (11:3 "Engkau telah masuk ke rumah orang-orang yang tidak bersunat dan makan bersama-sama dengan mereka").
Dari perspektif kultural Yahudi pada masa itu, semua penjelasan di atas sangat masuk akal. Bangsa Yahudi terbiasa dengan berbagai aturan religius - kultural yang begitu detil dan mengikat. Ketaatan pada semua aturan ini tidak akan memungkinkan bagi mereka untuk bergaul dengan bangsa-bangsa lain, terutama dalam hal makan bersama, apalagi di rumah orang non-Yahudi.
 Entah berapa banyak poin aturan yang "telah dilanggar" oleh Petrus dan rombongannya ketika mereka memutuskan untuk masuk ke rumah Kornelius (10:28), makan bersama mereka dan bahkan tinggal beberapa hari bersama mereka (10:48).Â
Jika kita tidak memahami situasi kultural seperti ini, kita mungkin akan menganggap semua peristiwa di pasal 10 biasa saja. Ternyata tidak demikian. Ada tembok kultural tebal yang harus dikalahkan.
Keruntuhan tembok kultural
Bagaimana tembok kultural yang selama ini memisahkan dapat diruntuhkan? Ini merupakan pertanyaan yang penting dan genting. Kita telah dan sedang menyaksikan rasisme di mana-mana. Ada sentimen ras di Indonesia, dan belahan dunia lain.
Kisah Para Rasul 10 menyediakan jawaban positif. Kita memiliki harapan. Harapan kita terletak pada Allah dan Injil-Nya.