Kata "Injil" atau "keselamatan" sangat lekat dengan perdamaian. Ada dua pihak yang dulu berjauhan atau bermusuhan sekarang diperdamaikan. Konsep semacam ini memang tidak keliru. Hanya saja, pengertiannya seringkali terlalu dibatasi pada relasi secara vertikal: melalui penebusan Kristus Allah mendamaikan orang berdosa dengan diri-Nya sendiri.
Jika kita melihat kembali kepada Alkitab secara seksama, dimensi perdamaian yang dihasilkan oleh Kristus sebenarnya jauh lebih menyeluruh.Â
Sebagaimana dosa telah merusak seluruh aspek kehidupan manusia (dan ciptaan), demikian pula dengan jangkauan penebusan Kristus yang memulihkan. Perdamaian dengan manusia yang berdosa, antar golongan dan status sosial, dan bahkan seluruh ciptaan.
Teks kita hari ini merupakan salah satu contoh konkrit bagaimana Allah memakai Injil untuk memulihkan relasi horizontal antara bangsa Yahudi dan bangsa lain.Â
Secara lebih khusus, bagaimana Petrus dan rombongan bersunat yang menyertai dia (Kis. 10:45-48) didekatkan dan dilekatkan ke dalam persekutuan dengan Kornelius dan seluruh kerabatnya (Kis. 10:25-27, 33). Keselamatan dari Allah melalui Injil juga turun atas keluarga besar Kornelius yang bukan dari etnis Yahudi.
Dari sisi pergerakan Injil secara keseluruhan di Kisah Para Rasul (berdasarkan 1:8 "dari Yerusalem, Yudea dan Samaria, sampai ke ujung bumi"), kisah pertobatan Kornelius (10:1-11:18) memegang peranan yang sangat penting.Â
Peristiwa ini merupakan transisi yang sempurna bagi perluasan Injil ke diaspora (Kis. 11:19-20). Kornelius tidak sepenuhnya "asing."
Walaupun dia bukan dari etnis Yahudi, tetapi dia penganut agama Yahudi (10:1-2). Mulai pasal 11:19 kita akan melihat bagaimana Injil mulai menyebar benar-benar di kalangan bangsa-bangsa non-Yahudi yang sebelumnya tidak memeluk agama Yahudi. Mereka benar-benar asing menurut perspektif Yahudi pada waktu itu.
Tembok pemisah kultural
 Hampir segala sesuatu dalam diri kita merupakan produk budaya. Tidak ada orang yang berada dan bertumbuh dalam kekosongan. Begitu alamiahnya semua elemen budaya, sampai-sampai kita tidak merasa bahwa kita telah dibentuk oleh budaya.