Seperti diketahui bersama jika konsep Merdeka Belajar berasal dari pemikiran Ki Hajar Dewantoro, yaitu Ing ngarso sung tulodo, Ing madyo mangun karso, Tut wuri handayani. Ketika berada di belakang, guru mendorong muridnya untuk mandiri. Ketika berada di tengah, membangkitkan semangat. Dan ketika di depan, menjadi teladan. Inilah filosofi dari Merdeka Belajar, menciptakan kemerdekaan belajar secara mandiri bagi murid dengan pendampingan guru sebagai tauladan, motivator, inisiator, dan fasilitator.
Hal yang harus dipahami bersama, Ki Hajar Dewantara adalah salah satu tokoh pejuang kemerdekaan Indonesia. Sehingga filosofi yang ia bawa adalah sebuah gerakan. Melakukan perubahan bagi generasi muda Indonesia, terbebas dari mental terjajah, hingga merdeka dalam berpikir menjadi bagian penting.Â
Pada waktu itu, dari segala bidang generasi muda Indonesia tertinggal, sehingga penekanan yang dilakukan adalah dengan kemandirian dalam belajar. Itu semua tidak akan berjalan tanpa adanya karakter yang mumpuni.
Bila pada era sebelumnya "musuh" dari masyarakat Indonesia adalah penjajahan dengan mengedepankan politik devide et impera (lebih efektif untuk menguasai wilayah yang luas dengan sumber daya terbatas) yang berimplikasi kepada kekolotan dan mental terjajah. Saat ini, musuh bangsa ini adalah kebodohan dan kemiskinan yang berimplikasi kepada kejumudan dan mental tempe.
Kebijakan Merdeka Belajar sendiri sudah ada 26 episode. Bila diklasifikasi berdasarkan sasaran, untuk keseluruhan jenjang dan jenis pendidikan pada jalur formal dan non formal terdapat 8 kebijakan. 1 terkait dengan regulasi untuk pencegahan dan penanganan kekerasan pada satuan pendidikan, 2 untuk percepatan perbaikan sumber daya manusia pada satuan pendidikan, 3 untuk infrastruktur layanan pendidikan, 1 untuk evaluasi mutu pendidikan, dan 1 kolaborasi jaringan peduli pendidikan.
Untuk jenjang SMK dan pendidikan vokasi terdapat 2. Untuk SMK lebih kepada percepatan mutu satuan pendidikan dan kolaborasi antara SMK dengan pendidikan vokasi. Untuk PAUD dan SD dengan Kesetaraan terdapat 3 kebijakan. Sisanya terkait dengan budaya, bahasa dan kebijakan nasional untuk beasiswa.
Untuk pendidikan tinggi, terdapat 9 kebijakan. 1 untuk regulasi pencegahan kekerasan seksual di perguruan tinggi, 2 untuk peningkatan mutu sumber daya manusia, sisanya untuk perbaikan layanan pendidikan mulai dari penganggaran sampai standar-standar.
Setiap kebijakan yang dikeluarkan tentunya bertujuan untuk: (i) menciptakan satuan pendidikan yang aman, nyaman, dan menyenangkan serta setara; (ii) menjadikan siswa mandiri dan merdeka dalam belajar serta sesuai dengan bakat dan minatnya; (iii) memberikan independensi kepada guru dan satuan pendidikan untuk proses pembelajaran; (iv) menjadikan budaya dan bahasa sebagai bagian dari proses pembelajaran; (v) kesetaraan yang sama dalam akses pendidikan bagi setiap orang sesuai dengan kebutuhan dan keunikannya; (vi) evaluasi secara komprehensif dan menyeluruh; dan (vii) menciptakan ruang-ruang kolaborasi bagi segenap pemangku kepentingan.
Kebijakan Merdeka Belajar ini adalah sebuah rekomendasi kebijakan yang akan diimplementasikan oleh segenap pemangku kepentingan. Tentunya sudah melalui tahapan perumusan dan memperkirakan dampak dari implementasi kebijakan. Sekaligus rencana evaluasi dari kebijakan itu sendiri.
Kesinambungan dan Anomali Kebijakan
Implementasi sebuah kebijakan pada dasarnya tidak akan pernah sesuai seratus persen dengan agenda setting atau rumusan kebijakan. Ada banyak faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan tersebut. Itu adalah sebuah keniscayaan dan seni dalam kebijakan.
Namun, hal yang perlu dipahami bersama juga, kebijakan yang berkesinambungan menjadi point penting. Penggantian kebijakan bukanlah sebuah solusi, kecuali kebijakan tersebut memang amat sangat buruk. Pilihannya adalah menyempurnakan sebuah kebijakan menjadi lebih baik.
Sebuah anomali dalam melakukan terobosan implementasi kebijakan. Ketika akan melakukan penguatan karakter (ini membutuhkan proses dan waktu yang cukup lama) pencegahan kekerasan di lingkungan satuan pendidikan, misalnya.Â
Apakah kita akan menyasar terlebih dahulu kepada siswa atau guru? Tentunya jawaban yang paling rasional adalah kita harus melakukan diseminasi dan internalisasi kepada guru terlebih dahulu, baru kemudian guru kepada siswanya. Tapi catatan pentingnya ini butuh waktu yang lama, bisa jadi kita akan tertinggal.Â
Terobosannya, misalnya menggunakan PMM untuk percepatan internalisasi dan diseminasi dari Modul atau Bahan Ajar penguatan karakter bagi guru baru kemudian ke siswa. Inipun sebenarnya masih dipertanyakan internalisasinya akan efektif atau tidak, karena perubahan mindset itu butuh proses dan waktu.Â
Atau dengan cara luring, model Master TOT dan TOT dengan menggunakan orang-orang bisa jadi anchor di daerah dan bagian pusat atau memberdayakan Jaringan Masyarakat Sipil. Baru kemudian melakukan diseminasi kepada peserta didik. Misalnya melalui kegiatan P5 atau masuk ke dalam kurikulum.
Anomali-anomali kebijakan seperti ini yang harus ditemukan oleh Pengambil Keputusan untuk melakukan percepatan. Dengan tetap melakukan kontrol terbatas sekaligus mengedepankan pemberdayaan, bukan batasan-batasan yang harus dipatuhi secara ketat.
Pemanfaatan Teknologi dan Kolaborasi dengan Masyarakat
Filosofi dari teknologi adalah alat bantu untuk mempermudah. Konsekuensi dari menggunakan teknologi adalah adanya infrastruktur pendukung dan mau belajar hal baru. Tantangannya, tidak semua bisa mendapatkan layanan teknologi tersebut karena tidak ada infrastruktur atau sulit belajar hal baru.
Sehingga perlu ada pembangunan infrastruktur pendukung dan "pemaksaan" menggunakan teknologi atau menciptakan sistem atau lingkungan yang mau tidak mau harus menggunakan teknologi tersebut.
Namun, dalam kebijakan publik, mereka yang tidak bisa mendapatkan layanan harus tetap diberikan  layanan dengan opsi yang berbeda.
Pemberdayaan komponen masyarakat juga menjadi hal penting saat ini dalam dunia pendidikan. Pendidikan itu milik dan kepentingan bersama, semua orang. Berbeda dengan infrastruktur umum, tidak semua bisa menggunakannya, apalagi memerlukan alat lain tuk menggunakan. Misalnya menggunakan jalan maka harus punya mobil atau naik transportasi umum.
Setiap orang ingin anaknya sekolah dan pintar. Sama halnya dengan kesehatan. Walaupun UUD 45 menegaskan kalau negara punya kewajiban mencerdaskan bangsa sehingga 20% APBN/APBD harus dialokasikan untuk anggaran pendidikan. Bahkan kemudian slogan biaya sekolah gratis kemudian menjadi janji politik.
Hal yang diinginkan, ini tidak menghilangkan semangat kepemilikan sekolah oleh masyarakat. Seperti orang tua, jaringan masyarakat sipil, orsosmas, harus memberikan perhatian kepada sekolah. Jika terpaku kepada dana pemerintah sepenuhnya akan butuh waktu lama karena keterbatasan anggaran dan banyaknya kegiatan yang harus difasilitasi, terobosannya adalah melakukan pemberdayaan masyarakat. Tapi tidak boleh memaksakan, sekali lagi ini butuh kesabaran dan seni untuk mengajar masyarakat berpartisipasi baik dari sisi anggaran maupun dukungan lainnya.
Akhirnya, kesinambungan dari  kebijakan Merdeka Belajar harus dipastikan karena sudah cukup banyak infrastruktur pendidikan yang terbangun. Misalnya Permendikbud 46/2023, Rapor Pendidikan, Platform Merdeka Mengajar, dan lain sebagainya.Â
Walau tidak menutup pintu evaluasi dan perubahan, perubahan sendiri merupakan bagian utama dari kebijakan dan perbaikan. Karena tidak ada kebijakan yang sempurna, hanya ada kebijakan yang terus diperbaiki sesuai tujuan dan kebutuhan.
Bila kita kembali dengan slogan "Ganti Menteri, Ganti Kebijakan", maka dunia pendidikan di Indonesia tidak akan pernah maju. Ada baiknya, "Ganti Menteri, Sempurnakan Kebijakan", dengan tetap memperhatikan tujuan dan situasi terkini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H