Mohon tunggu...
Constan Fatlolon
Constan Fatlolon Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Ateneo de Manila University

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Fenomenologi Cinta dan Benci

25 November 2017   17:34 Diperbarui: 25 November 2017   17:38 1205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selesai sudah proses pernikahan pasangan Bobi dan Kahiyang. Mata dan hati semua warga negara, entah melalui layar kaca, koran, majalah, maupun media sosial, menyaksikan dan turut merayakan indahnya mahligai cinta kedua mempelai muda. 

Perayaan ini menarik perhatian publik karena sepertinya terdapat dua pandangan yang berbeda menyikapi perhelatan tersebut. Di satu pihak, sebagian besar masyarakat warga memandang peristiwa ini sebagai perayaan kebersamaan, persatuan, kemajemukan, solidaritas, kesederhanaan. Namun di lain pihak, sebagaimana kita baca dan lihat di media massa dan media online, terkesan ada sebagian kecil yang diduga kurang apresiatif dengan perayaan tersebut. 

Kedua pandangan ini, walaupun tampak bertentangan satu sama lain, pada dasarnya menunjukkan bahwa cinta pada hakikatnya merupakan sebuah NILAI yang berada pada jantung kehidupan manusia. Dengan kata lain, cinta itu begitu bernilai bagi manusia, sehingga, di satu pihak, cinta begitu menarik sampai orang bisa memberikan segala-galanya untuk cinta. Akan tetapi, di lain pihak, betapa bernilainya cinta sampi orang bisa jatuh pada rasa benci karena tidak mendapatkan cinta yang sejati dari orang terdekat.

Secara filosofis, masalah cinta dan benci, mendapat perhatian serius dari filsuf fenomenologi Max Scheler. Dalam karyanya, The Nature of Sympathy Scheler secara khusus menganalisis cinta dan benci sebagai dua fenomenon sebagai bagian dari gerak rasa manusia. Kedua fenomen ini bagaikan dua sisi dari satu mata uang yang sama. 

Menurutnya, cinta merupakan tindakan manusia yang paling fundamental salami hid manusia. Cinta malahan disebut lebih asali daripada pengetahuan dan kehendak. Seluruh pengetahuan dan keinginan kita akan sesuatu berdasar pada cinta sebagai tindakan fundamental manusia. 

Lalu apa yang dimaksudkan dengan cinta?

Scheler membedakan cinta dari kebaikan bati dan sekedar sebuah perasaan. Cinta berbeda dengan kebaikan atau kemurahan hati karena dalam cinta kita tidak sekedar mencari obyek atau keuntungan material dari yang cintai. Lebih dari itu, dalam kebaikan hati orang menyadari ada sesuatu dalam diri orang yang dicintai sehingga berusaha melakukan sesuatu terhadap terhadapnya. 

Cinta juga berbeda dengan sekedar perasaan karena orang bisa menyatakan perasaannya terhadap obyek yang tidak cintai. Perasaan lebih bersifat pasif, reseptif, sedangkan cinta lebih merupakan sebuah spontanitas dan sebum gerakan batin seseorang terhadap yang dicintai. Perasaan bisa berubah dalam sekejap ketika cinta seseorang mulai luntur terhadap pasangannya. 

Menurut filsuf Jerman ini, hakikat cinta adalan sebuah keterarahan kepada nilai yang lebih tinggi. Ia mengatakan, "love sees something other in value, high or low, than that which the 'eye' of reason can discern" (NS 150). Dengan mengikuti pandangan filsuf Blaise Pascal, Scheler mengatakan orang yang dicintai merupakan alasan satu-satunya untuk mencintai karena "hati memiliki alasannya sendiri dimana akal budi itu sendiri tidak mengetahuinya." 

Sebagai seorang fenomenolog, Scheler beranggapan bahwa cinta tak lain adalah sebuah gerakan intensional yang berpindah menuju potensialitas nilai yang lebih tinggi dari obyek yang dicintai. Intensionalitas yang dimaksudkan di sini, dalam pemahaman fenomenologi, tak lain adalah kesadaran akan sesuatu daripada kesadaran itu sendiri.

Lalu apakah yang dimaksudkan dengan rasa benci? 

Schiler mengatakan, rasa benci juga adalah sebuah nilai, sebagaimana cinta. Akan tetapi benci adalah sebuah intensionalitas kepada nilai yang lebih rendah. Orang yang memiliki rasa benci sebenarnya mencintai nilai-nilai yang tidak mulia, dalam bentuk kata-kata kasar, hujatan, dan lain sebagainya. Dalam arti ini, rasa benci bersifat destruktif karena pada kenyataannya menghancurkan nilai yang lebih tinggi. Lebih dari itu, rasa benci memiliki akibat lain, yaitu menutup perasaan kita pada orang lain dan memiliki kekuatan diskriminatif (NS 154).

Fenemenologi cinta dan benci bukan hanya terjadi pada masalah cinta antar dua pasangan yang saling bermadu kasih, namun hadir juga dalam relasi sosial anggota masyarakat. Hampir setiap saat, kita menyaksikan untaian ujaran cinta dan kebencian. Kebaikan hati dan perasaan kita seakan menjadi 'pongah" dengan kedua fenomena tersebut silih berganti. 

Lebih dari itu, cinta kita satu sama lain sebagai anak bangsa seakan "pudar" dihantam  sumburan nyala api kebencian antar sesama. Kita lalu saling menghujat, mengata-ngatai satu sama lain. Pertanyaan filsafat fenomenologi ialah: apakah dengan menghujat satu sama lain kita memiliki intensionalitas kepada nilai yang lebih tinggi? 

Tenteu saja tidak. Api kebencian pada dasarnya membuat kita menegasikan jati diri kita sebagai "manusia multi-dimensi" yaitu sebagai makluk religius, sebagai person, sebagai makluk sosial, sebagai makluk moral, sebagai makluk etis, dan lain sebagainya. Dengan menyalakan api kebencian dalam diri secara pribadi, kita menolak diri sendiri sebagai seorang person yang bermartabat. 

Hal ini membuat martabat seseorang jauh lebih rendah daripada yang dipikirkannya. Lebih dari itu, dengan membakar api kebencian antar sesama, seseorang menjadi "serigala" bagi yang lain. Ia bukan menjadi makluk perdamaian melainkan menjadi momok yang menakutkan dan dihindari banyak orang. 

Mungkin orang yang menyulut api kebencian berpikir bahwa dengan membenci dan membuat orang lain saling membenci menjadi berkah dalam hidupnya. Akan tetapi, sebagaimana dikatakan Paus Yohanes Paulus II, orang tersebut bisa saja menang jangka pendek namun rugi jangka panjang. Ia bisa saja mendapatkan banyak uang dari perbuatannya namun ia menanggung resiko ditolak oleh lingkungan sekitarnya.

Dalam ranah politik, kita juga menyaksikan untaian kata-kata para politisi, yang saling menyerang dan menyindir. Alih-alih menjunjung tinggi prinsip kebebasan berpendapat dalam alam demokrasi, tak jarang ada juga ujaran yang kurang menunjukkan simpati dan cinta kepada sesama sebagai manusia. 

Bagaimana kita harus menilai fenomena ini? 

Secara fenomenologs, yang kita butuhkan dari pada politisi kita adalah sebuah gerakan batin dan intensionalitas terhadap nilai yang lebih tinggi, yaitu cinta satu sama lain dalam perbedaan (politik, agama, aliran, dlsb). Kita membutuhkan kerja sama dan saling menghargai untuk memajukan negara kita tercinta.

Tetapi kita patut kebijaksanaan untuk tidak menilai semuanya ini sebagai sebuah gerakan batin dan intensionalitas pada nilai yang lebih rendah. Mungkin kita hanya perlu berpijak pada apa yang dikatakan filsuf sosial-politik Jerman abad ini, Jurgen Habermas sebagaimana dituangkannya dalam artikel berjudul "What Macron Means for Europe: How Much Will the Germans Have to Pay?" (Del Spigel, 26 October 2017). 

Dengan sangat bijak Habermas membantu kita bagaimana menilai kualitas seorang politsi. Habermas mengatakan: "The quality of one's work as a politician, of course, isn't measured by rhetorical talent. But speech can change the public's perception of politics; it can raise the level of discourse and broaden the horizons of public debate. As such, it can improve the quality not just of political opinion and the formation of political will, but of political action itself."

Belajar dari Scheler dan Habermas, kita ingin mengapai sebuah gerakan dan intensionalitas pada nilai yang lebih tinggi, yakni cinta. Inilah gerakan hati yang asali dan tindakan fundamental batin manusia. Cinta itulah yang membuat kita ada sebagai manusia dan sebagai warga masyarakat. Gerakan ini harus terus dibangun dalam diskursus dan prasis relasi sosial warga masyarakat melawan gerakan dan intensionalitas kepada nilai yang rendah, melawan nilai dan praksis hidup yang bersifat destruktif dan diskriminatif, yakni rasa benci. 

Hal fundamental yang dibutuhkan saat ini adalah sebuah gerakan bersama untuk "kembali kepada hati" sebagai pusat hidup manusia. Kembali kepada hati sebagai institusi moral untuk menata diri, masyarakat dan negara menuju tujuan bersama, nilai yang lebih tinggi, yakni kehidupan yang penuh cinta kasih satu sama lain.

Manila, 25 November 2017

PCF.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun