Schiler mengatakan, rasa benci juga adalah sebuah nilai, sebagaimana cinta. Akan tetapi benci adalah sebuah intensionalitas kepada nilai yang lebih rendah. Orang yang memiliki rasa benci sebenarnya mencintai nilai-nilai yang tidak mulia, dalam bentuk kata-kata kasar, hujatan, dan lain sebagainya. Dalam arti ini, rasa benci bersifat destruktif karena pada kenyataannya menghancurkan nilai yang lebih tinggi. Lebih dari itu, rasa benci memiliki akibat lain, yaitu menutup perasaan kita pada orang lain dan memiliki kekuatan diskriminatif (NS 154).
Fenemenologi cinta dan benci bukan hanya terjadi pada masalah cinta antar dua pasangan yang saling bermadu kasih, namun hadir juga dalam relasi sosial anggota masyarakat. Hampir setiap saat, kita menyaksikan untaian ujaran cinta dan kebencian. Kebaikan hati dan perasaan kita seakan menjadi 'pongah" dengan kedua fenomena tersebut silih berganti.Â
Lebih dari itu, cinta kita satu sama lain sebagai anak bangsa seakan "pudar" dihantam  sumburan nyala api kebencian antar sesama. Kita lalu saling menghujat, mengata-ngatai satu sama lain. Pertanyaan filsafat fenomenologi ialah: apakah dengan menghujat satu sama lain kita memiliki intensionalitas kepada nilai yang lebih tinggi?Â
Tenteu saja tidak. Api kebencian pada dasarnya membuat kita menegasikan jati diri kita sebagai "manusia multi-dimensi" yaitu sebagai makluk religius, sebagai person, sebagai makluk sosial, sebagai makluk moral, sebagai makluk etis, dan lain sebagainya. Dengan menyalakan api kebencian dalam diri secara pribadi, kita menolak diri sendiri sebagai seorang person yang bermartabat.Â
Hal ini membuat martabat seseorang jauh lebih rendah daripada yang dipikirkannya. Lebih dari itu, dengan membakar api kebencian antar sesama, seseorang menjadi "serigala" bagi yang lain. Ia bukan menjadi makluk perdamaian melainkan menjadi momok yang menakutkan dan dihindari banyak orang.Â
Mungkin orang yang menyulut api kebencian berpikir bahwa dengan membenci dan membuat orang lain saling membenci menjadi berkah dalam hidupnya. Akan tetapi, sebagaimana dikatakan Paus Yohanes Paulus II, orang tersebut bisa saja menang jangka pendek namun rugi jangka panjang. Ia bisa saja mendapatkan banyak uang dari perbuatannya namun ia menanggung resiko ditolak oleh lingkungan sekitarnya.
Dalam ranah politik, kita juga menyaksikan untaian kata-kata para politisi, yang saling menyerang dan menyindir. Alih-alih menjunjung tinggi prinsip kebebasan berpendapat dalam alam demokrasi, tak jarang ada juga ujaran yang kurang menunjukkan simpati dan cinta kepada sesama sebagai manusia.Â
Bagaimana kita harus menilai fenomena ini?Â
Secara fenomenologs, yang kita butuhkan dari pada politisi kita adalah sebuah gerakan batin dan intensionalitas terhadap nilai yang lebih tinggi, yaitu cinta satu sama lain dalam perbedaan (politik, agama, aliran, dlsb). Kita membutuhkan kerja sama dan saling menghargai untuk memajukan negara kita tercinta.
Tetapi kita patut kebijaksanaan untuk tidak menilai semuanya ini sebagai sebuah gerakan batin dan intensionalitas pada nilai yang lebih rendah. Mungkin kita hanya perlu berpijak pada apa yang dikatakan filsuf sosial-politik Jerman abad ini, Jurgen Habermas sebagaimana dituangkannya dalam artikel berjudul "What Macron Means for Europe: How Much Will the Germans Have to Pay?" (Del Spigel, 26 October 2017).Â
Dengan sangat bijak Habermas membantu kita bagaimana menilai kualitas seorang politsi. Habermas mengatakan: "The quality of one's work as a politician, of course, isn't measured by rhetorical talent. But speech can change the public's perception of politics; it can raise the level of discourse and broaden the horizons of public debate. As such, it can improve the quality not just of political opinion and the formation of political will, but of political action itself."