Bertahun-tahun lalu, berita mengenai demontrasi buruh untuk menuntut kenaikan UMP acapkali membuat saya merasa sinis. Waktu itu, media banyak menyorot pada kendaraan yang digunakan (ada yang menggunakan motor Kawasaki 4 tak yang mahal ituu), dan beberapa tuntutan mereka yang menurut saya waktu itu tidak menimbulkan simpati.Â
Yang terlintas dalam benak saya adalah, kalau nuntut juga yang bikin orang simpatik dong, yang bikin orang mikir iya ya, gaji segitu memang kurang. Tetapi itu bertahun lalu, saat saya belum mengetahui kebutuhan hidup yang sesungguhnya, dan sulitnya mengalokasikan gaji untuk memenuhi segala kebutuhan tersebut.
Berita mengenai kenaikan UMP tahun ini cukup menyita perhatian saya. Hal ini karena seiring dengan berita kenaikan UMP ini, saya tidak sengaja membaca kembali infografis dari "Tirto" mengenai sulitnya memiliki rumah di Yogyakarta.
 Saat ini saya kembali berdomisili sementara di Yogyakarta, provinsi dengan UMP terendah di Indonesia, sehingga sedikit banyak bisa merasakan dan membandingkan komponen biaya yang dibutuhkan untuk hidup di daerah ini, khususnya di Kabupaten Sleman.Â
Upah Minimum Provinsi (UMP) yang ditetapkan pemerintah untuk Provinsi DI Yogyakarta adalah sebesar Rp 1.704.608. Sedangkan Upah Minimum Kota (UMK) 2020 untuk masing-masing kabupaten yakni Gunung Kidul Rp1.705.000; Kulon Progo Rp1.750.500; Bantul Rp1.790.500; Sleman Rp1.846.000; dan Kota Yogyakarta Rp 2.004.000.
Berita mengenai kenaikan UMP tahun 2020 yang ditetapkan pemerintah sebesar 8,51% membuat saya mencari informasi dasar pemerintah menetapkan kenaikan upah setiap tahunnya. Ternyata ada yang dinamakan Kebutuhan Hidup Layak (KHL) yang terdiri atas 7 komponen, yaitu:
- Makanan dan minuman
- Sandang
- Perumahan
- Pendidikan
- Kesehatan
- Transportasi
- Rekreasi dan Tabungan
Untuk masing-masing komponen tersebut masih dirinci lagi atas berbagai item-item yang dirasa menunjang hidup layak. Seperti untuk makanan dan minuman ada komponen beras, sumber protein (daging dan ikan), susu, buah-buahan, dan lain-lain yang dapat dibaca di Permenakertrans Nomor 13/VII/2012 tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak.
Jika melihat dari sudut pandang pengusaha, kenaikan upah memang akan memberikan beban operasional perusahaan, sehingga terkadang tidak jarang terjadi PHK yang mengikuti adanya peraturan kenaikan upah minimum setiap tahunnya.Â
Namun, saat ini saya tidak melihat dari sisi efek ekonomi yang ditimbulkan kepada pengusaha. Saya melihat sisi jumlah upah yang diterima oleh para buruh untuk pencapaian mereka terhadap status hidup layak tersebut.Â
Untuk pengaturan keuangan yang ideal berdasarkan saran-saran baik dari artikel keuangan atau finplanner, kebutuhan hidup pokok itu sebaiknya 60 % dari penghasilan, 20 % untuk tabungan, 10 % untuk dana darurat, 10 % untuk kebutuhan sekunder (sosial dan gaya hidup).Â
Persentase tersebut bisa berubah tergantung pada individu, tetapi secara awalnya saya sendiri menggunakan formula tersebut. Untuk tinggal di Sleman makan komposisinya akan menjadi
- Kebutuhan hidup Rp1.107.600
- Tabungan Rp369.200
- Dana darurat Rp184.600
- Sekunder Rp184.600
Jika menggunakan sistem komitmen seperti metode dari financial planner Prita Ghozie untuk yang bergaji UMP, 75 % digunakan untuk kebutuhan pokok sebesar Rp1.384.500, dan  25 % dana darurat dan tabungan sebesar Rp461.500
Sebagai perbandingan, standar kos putri ukuran 3 x 3 saat ini berkisar antara 500 ribu -- 800 ribu dengan fasilitas standar kamar mandi luar, dapur bersama. Bagaimana dengan standar KHL yang ada rincian dapur, perabot masak dllnya?Â
Berdasarkan pengalaman pribadi mencari sendiri dan dengan bantuan jasa, kos/kontrakan yang dikategorikan paviliun untuk daerah jogja atau mungkin rumah petak jika di tempat lain (ada kamar 1-2, dapur mini, kamar mandi), harganya berkisar 10 juta -- 16 juta/ tahun.Â
Dapat dibayangkan alangkah galaunya seorang pekerja yang menerima upah benar-benar setara UMK di Kabupaten Sleman.Â
Jika sudah berkeluarga, tentu kos ukuran 3 x 3 sudah tidak layak lagi untuk tinggal sekeluarga. Belum lagi kebutuhan sehari-hari yang terus mengalami kenaikan yang cukup signifikan.
Untuk makanan, bagi pendatang dari luar Jogja, makanan memang relatif murah, tetapi jika harus sehari-hari hidup di sini dengan upah standar daerah, yakin kalau itu masih murah?Â
Pengeluaran rata-rata saya untuk makan adalah 600 ribu rupiah sebulan  (hampir selalu masak sendiri dan bawa bekal).Â
Saya yakin jumlah tersebut akan sangat kurang jika saya memutuskan untuk makan 3 kali sehari di warung (kecuali ngeburjo tiap hari). Yang baru dibandingkan baru dua komponen saja. Masih ada dana pendidikan, sandang, kesehatan, bahkan tabungan dan rekreasi.Â
 Jika kebutuhan hidup aja pas-pasan banget, boro-boro punya tabungan atau investasi. Duh, miris rasanya. Kalau hanya mengandalkan gaji saja, ya benar kalau anak muda sekarang (khususnya di DIY) ngimpi doang beli rumah...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H