Gandrung tidak hanya tetap relevan dalam kehidupan masyarakat Banyuwangi sebagai bagian dari upacara adat seperti pernikahan atau perayaan panen, tetapi juga telah mengalami evolusi menjadi bagian integral dari pertunjukan seni dan festival budaya. Gandrung Sewu, misalnya, adalah acara tahunan yang mengumpulkan ribuan penari untuk menampilkan tarian ini secara massal di Pantai Boom. Acara ini bukan hanya mempertunjukkan keindahan seni Gandrung, tetapi juga memperkokoh identitas budaya Suku Osing dan menjadi daya tarik utama dalam pariwisata budaya Banyuwangi. Dengan demikian, Gandrung tidak hanya merupakan simbol kearifan lokal dan keindahan estetika, tetapi juga sebuah warisan budaya yang perlu dilestarikan dan dirayakan sebagai bagian dari warisan nasional Indonesia.
Kesenian
Kesenian Suku Osing di Banyuwangi tercermin dalam berbagai tradisi unik seperti Kebo-Keboan, menjemur kasur merah-hitam, dan Barong Ider Bumi. Tradisi Kebo-Keboan merupakan ritual turun-temurun yang dilakukan oleh masyarakat Suku Osing. Dalam tradisi ini, para peserta merias diri mereka seperti kerbau (Kebo dalam bahasa Jawa) dan menari di sawah. Ritual ini dilakukan sebagai ungkapan syukur atas hasil panen yang baik dan doa untuk kesuburan tanah serta perlindungan dari hama. Kebo-Keboan juga dianggap sebagai bentuk penghormatan kepada dewa-dewa yang melindungi pertanian dan kehidupan masyarakat agraris.
Sedangkan tradisi Menjemur Kasur Merah-Hitam merupakan tradisi yang dilakukan di Desa Kemiren sebagai cara untuk membersihkan dan melindungi dari penyakit. Kasur merah-hitam dijemur di luar rumah sebagai simbol kebersihan dan perlindungan. Warna merah melambangkan kasih sayang ibu, sementara hitam melambangkan perlindungan dari bahaya. Kasur yang dijemur ini diyakini memiliki nilai filosofis yang dalam, yang sering kali diberikan kepada anak perempuan yang akan menikah sebagai simbol perlindungan dan kasih sayang dari ibu.
Selain itu juga terdapat tradisi Barong Ider Bumi sebagai ritual tahunan yang dilakukan untuk mengusir bahaya dan menyelamatkan masyarakat. Barong, yang merupakan makhluk mitologis, diarak oleh masyarakat dengan penuh penghormatan. Ritual ini juga disebut sebagai "tolak bala" karena tujuannya untuk menolak segala bentuk bencana atau bahaya yang dapat mengancam kehidupan masyarakat. Selama prosesi ini, masyarakat juga melakukan ziarah ke makam leluhur sebagai bagian dari penghormatan dan permohonan keselamatan bagi desa mereka.
Ketiga tradisi ini tidak hanya memperkaya kehidupan budaya Suku Osing, tetapi juga mencerminkan hubungan yang dalam antara manusia dan alam, serta antara spiritualitas dan kehidupan sehari-hari. Mereka merupakan bagian integral dari identitas budaya Banyuwangi dan menjadi simbol penting dalam mempertahankan kearifan lokal serta warisan budaya yang unik.
Arsitektur Cafe
Ketika berkunjung ke Banyuwangi kita akan menemukan arsitekur cafe yang menarik, dimana secara umum mereka mengadopsi gaya tradisional Osing, suku asli Banyuwangi.Hal ini dapat kita lihat dari bentuk atap dari cafe yang mengadopsi bentuk atap dari rumah adat Suku Osing. Bangunan-bangunan ini sering kali menggunakan bahan-bahan alami seperti kayu, bambu, dan rumbia atau ijuk yang menciptakan nuansa alami dan sejuk. Ornamen tradisional berupa ukiran kayu dengan motif khas Osing sering ditemui, menambah nilai estetika dan budaya. Kafe-kaf ini juga sering memiliki area duduk bersama atau lesehan, yang tidak hanya mendorong interaksi sosial tetapi juga menciptakan suasana ramah dan akrab. Beberapa kafe dapat menampilkan elemen budaya lain seperti musik tradisional, tari-tarian, dan dekorasi khas yang mencerminkan kekayaan budaya Osing. Secara keseluruhan, arsitektur kafe yang kita temukan di Banyuwangi tidak hanya berfungsi sebagai tempat bersantai, tetapi juga sebagai wahana untuk melestarikan dan mempromosikan budaya lokal yang kaya.
Bangunan Hotel
Banyuwangi bukan hanya destinasi wisata yang menawarkan keindahan alamnya yang memukau, tetapi juga merupakan tempat di mana pengunjung dapat merasakan kehangatan dan kekayaan budaya lokal yang autentik. Ketika mengunjungi Banyuwangi, pengunjung tidak hanya akan terpesona oleh arsitektur kafe yang unik tadi, tetapi juga oleh hotel-hotel yang mengadopsi gaya tradisional dari Suku Osing. Suku Osing, yang merupakan bagian dari masyarakat lokal di Banyuwangi, memiliki warisan seni dan budaya yang kaya, tercermin dalam ukiran-ukiran halus dan patung-patung tari gandrung yang memikat. Tari gandrung sendiri menjadi salah satu ikon budaya yang menggambarkan kehidupan dan kepercayaan masyarakat Banyuwangi.Ini semua menjadikan perjalanan ke Banyuwangi bukan sekadar liburan biasa, tetapi pengalaman mendalam yang menggugah rasa ingin tahu akan warisan budaya yang kaya dan beragam di Indonesia.
Melalui kolaborasi antara teknologi dan kearifan lokal, Tim Riset Universitas Negeri Malang berharap inovasi ini dapat menjadi model bagi daerah lain dalam upaya melestarikan budaya. Pak Purwadi, sebagai tokoh adat, juga menekankan pentingnya keterlibatan komunitas dalam menjaga warisan budaya mereka. Melalui proyek ini, Suku Osing diharapkan tidak hanya dapat mempertahankan identitas mereka, tetapi juga menginspirasi generasi muda untuk bangga akan warisan mereka dan menjadikannya bagian integral dari kehidupan mereka sehari-hari. Inovasi ini adalah langkah penting menuju masa depan yang menghargai dan merayakan kekayaan budaya Indonesia yang beragam.