Mohon tunggu...
CORRIE TERESIA
CORRIE TERESIA Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Negeri Malang

Pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Inovasi Digital dalam Konservasi Budaya Osing : Memelihara Identitas Lokal melalui Pendekatan Teknologi yang Berkelanjutan

15 Juli 2024   13:06 Diperbarui: 15 Juli 2024   16:34 390
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar 1 : Wawancara bersama Pak Purwadi, slah satu tokod adat Suku Osing di Desa Kemiren (Dokpri)

Bahasa Suku Osing

Keseharian masyarakat Osing dalam berkomunikasi adalah menggunakan menggunakan bahasa Osing, mengingat zaman sekarang anak muda yang tidak bisa bahkan tidak tahu bahasa adat mereka. Bahasa Osing tidak diambil dari Bahasa asing termasuk Bahasa Jawa yang dianggap dialek Banyuwangi. Bahasa Osing  merupakan Bahasa asli Suku Osing dan bukan bahasa yang serupa dengan Bahasa Jawa karena dari sisi budaya dan karakter bahasa ada tradisi dan budayanya masyarakat Osing dengan masyarakat Jawa itu sangat berbeda sekali. Bahasa Osing merupakan bagian penting dari identitas budaya lokal dengan penggunaannya yang tersebar di wilayah-wilayah seperti Kabupaten Banyuwangi, Kabat, Rogojampi, Glagah, Kalipuro, Srono, Songgon, Cluring, dan sebagian kota Banyuwangi lainnya, mencakup sekitar 500.000 jiwa penduduk.

Bahasa Osing, berbeda dengan Bahasa Jawa, tidak mengenal tingkatan bahasa seperti basa ngoko, krama madya, dan krama inggil yang biasanya disesuaikan dengan status sosial lawan bicara. Bahasa Osing menggunakan varian yang disebut besiki untuk menunjukkan sopan santun tanpa memandang status sosial. Meskipun demikian, Bahasa Osing tetap memiliki cara untuk menunjukkan kehalusan, seperti penggunaan penggabungan vokal /ai/ dan /au/ pada suku kata dengan akhiran fonem "i" dan "u". Contohnya, kata /iki/ (ini) dilafalkan sebagai /ikai/ dan /iku/ (itu) dilafalkan sebagai /ikau/.

Selain itu, Bahasa Osing memiliki empat logat khusus lain yang digunakan dalam percakapan sehari-hari. Misalnya, penekanan yang diberikan pada suku kata dengan akhiran fonem "e", "o", dan "a". Contohnya, kata mrene dibaca sebagai mrene' dan piro dibaca sebagai piro'. Terdapat juga penyisipan "y" pada fonem-fonem tertentu, seperti "b", "j", "d", "g", "n", "ai", "r", "l", dan "w", yang diikuti oleh fonem "a" atau "e". Sebagai contoh, kata abang dibaca sebagai abyang dan kabeh dibaca sebagai kabyeh.

Selain itu mereka juga memiliki lagu adat sendiri dan menggunakan bahasa Osing. Musisi seperti Demy dan Nella Kharisma mempopulerkan bahasa Osing melalui lagu-lagu seperti "Kanggo Riko" dan "Welas Hang Ring Kene & Ngelabur Langit". Bahasa dalam musik, seperti dalam genre Koplo, menambah dimensi baru dalam ekspresi budaya dan membantu memperkenalkan bahasa-bahasa lokal kepada audiens yang lebih luas. Kesederhanaan bahasa yang digunakan dalam lagu membuatnya mudah dimengerti oleh pendengar, bahkan mereka yang bukan berasal dari komunitas Osing atau Banyuwangi. Melalui musik, khususnya musik Koplo, bahasa Osing menjadi populer dan diakui, berkontribusi pada pelestarian dan promosi bahasa dan budaya lokal.

Meskipun memiliki banyak keunikan dan kekayaan budaya, bahasa Osing kurang dikenal dan diperkenalkan oleh masyarakat Banyuwangi sendiri. Hal ini disayangkan, karena bahasa Osing merupakan bagian dari identitas dan budaya Banyuwangi yang perlu dilestarikan. Bahasa Osing hanya digunakan secara luas di dalam rumah tangga sebagai alat komunikasi utama dalam kehidupan sehari-hari antara anggota keluarga yang menekankan peran pentingnya dalam interaksi sehari-hari di masyarakat Suku Osing. Masyarakat Osing juga menghormati etika bahasa yang meliputi faktor-faktor seperti usia, hubungan sosial, dan rasa hormat terhadap lawan bicara, mencerminkan nilai kesopanan yang tinggi dalam berkomunikasi. Selain itu, bahasa Osing memainkan peran yang krusial dalam dunia pendidikan, di mana ia membantu membentuk karakter, sikap, dan perilaku individu secara mendalam. Bahasa Osing juga diintegrasikan ke dalam program pendidikan di Banyuwangi sebagai mata Pelajaran muatan lokal, di mana siswa diajarkan bahasa ini melalui mata pelajaran wajib yang didukung oleh buku-buku dan instruktur bahasa, memastikan penggunaan dan penyaluran berkelanjutan kepada generasi muda.

Tarian 

Banyak kesenian daerah di Indonesia yang tergolong unik dan menarik, tak hanya sebagai warisan budaya melainkan mengandung nilai-nilai mistis yang kental. Bahkan di masa lampau, seni tradisi berupa tari dan lagu menjadi sarana komunikasi dengan etnis gaib. Jika Kalimantan terkenal dengan tarian hudoq nya sementara di Jawa ada Jathilan atau jaran kepang yang berbau magis maka Kabupaten Banyuwangi yang dijuluki Bumi Blambangan juga memiliki warisan seni tari rakyat yang sakral, yaitu Tari Gandrung yang dipercayakan sebagai bentuk pemujaan pada sang Dewi Sri. Dalam pementasannya, tarian gandrung melibatkan ritual-ritual tertentu sehingga memiliki nilai kesakralan.

Gandrung awalnya ditarikan oleh seorang penari laki-laki bernama marsan yang berdandan seperti Wanita. Sosok penting dalam sejarah Gandrung adalah Mbah Semi, yang dikenal sebagai pelopor Gandrung pertama, disebut Gandrung Kawitan. Mbah Semi meninggal pada 7 Oktober 1970. Menurut cerita Masyarakat, saat kecil dulu, Mbah Semi menderita sakit parah dan pada waktu itu ibunya bernazar untuk menjadikannya penari jika sembuh. Mbah Semi kemudian dikenal mampu menyembuhkan orang dan melakukan jampi-jampi. Setiap kali tampil untuk menari, Mbah Semi selalu mengawalinya dengan membaca doa.

Tarian Gandrung terdiri dari tiga bagian: Jejer (penari menari sendiri atau berkelompok), Paju (penari menari bersama tamu), dan Seblang Subuh (gerakan melambat dengan musik bernuansa sedih). Mbah Semi dipercaya memiliki kekuatan magis, dan banyak benda yang ia pakai dianggap memiliki daya tarik yang luar biasa. Para penari Gandrung harus menjalani ritual tertentu sebelum tampil dan harus menjalani proses pelatihan yang ketat. Proses "meras" adalah bagian penting dari pelatihan, di mana suara penari diolah dengan ramuan herbal untuk menghasilkan suara yang indah. Sebagai bentuk apresiasi, Pemerintah Kabupaten Banyuwangi telah membangun patung Gandrung raksasa dan mewajibkan pelajaran Seni Gandrung di sekolah-sekolah serta mengadakan festival Gandrung tahunan.

Jadi, Tari Gandrung adalah simbol keindahan dan kekayaan budaya dari Banyuwangi, khususnya di kalangan Suku Osing. Berawal dari tradisi panjang yang melibatkan para gadis sebagai penari untuk menyambut kedatangan para pelaut di pelabuhan, Gandrung tidak hanya menjadi hiburan tetapi juga sebuah ekspresi rasa syukur dan kegembiraan atas keselamatan yang diberikan. Gerakan yang lemah gemulai dan berputar-putar mencerminkan keanggunan serta keluwesan tubuh, sementara kostum berwarna-warni dengan hiasan tradisional menambahkan nuansa khas budaya lokal. Musik yang mengiringi, dari alat musik tradisional seperti kendang, gong, dan seruling, menambahkan keselarasan dalam penampilan tarian ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun