Mohon tunggu...
CORRIE TERESIA
CORRIE TERESIA Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Negeri Malang

Pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Inovasi Digital dalam Konservasi Budaya Osing : Memelihara Identitas Lokal melalui Pendekatan Teknologi yang Berkelanjutan

15 Juli 2024   13:06 Diperbarui: 15 Juli 2024   16:34 390
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar 1 : Wawancara bersama Pak Purwadi, slah satu tokod adat Suku Osing di Desa Kemiren (Dokpri)

Suku Osing, Banyuwangi- Dalam sebuah langkah inovatif yang menggabungkan teknologi dan warisan budaya, Tim Riset dari Departemen Geografi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang, memperkenalkan pendekatan digital baru untuk melestarikan budaya Osing di Banyuwangi. Dipimpin oleh Dr. Purwanto, S.Pd, M.Si selaku Kepala Departemen Geografi, Universitas Negeri Malang yang beranggotakan Wahyu, Rizieq, Corrie, dan Erisa yang memanfaatkan teknologi berkelanjutan guna memelihara identitas lokal Suku Osing. Kami bertemu dengan Pak Purwadi selaku tokoh adat yang menjadi sumber informasi kami untuk inovasi digital ini tidak hanya mendokumentasikan tetapi juga menghidupkan kembali tradisi berharga Suku Osing, memastikan bahwa generasi mendatang tetap terhubung dengan akar mereka dalam dunia yang semakin modern dan digital.

Sejarah Suku Osing

Suku Osing atau Orang Using adalah penduduk asli Banyuwangi yang dikenal juga sebagai Laros akronim dari Lare Osing atau Mount Blambangan. Julukan Osing pun tidak serta-merta keinginan dari masyarakat Blambangan namun lebih menjadi ungkapan frustasi orang Belanda karena gagal membujuk masyarakat Blambangan untuk bekerjasama yang  pada masa itu cenderung menarik diri dari dari orang-orang baru dan lebih memilih mengasingkan diri mereka. Namun mengikuti perkembangan zaman sikap itu pun mulai luntur dan mulai bisa menerima perubahan zaman. Awalnya bermula pada saat runtuhnya kerajaan Majapahit saat terjadi perang saudara sekitar pada tahun 1478 masehi serta tumbuhnya kerajaan-kerajaan Islam di kerajaan tersebut terutama Kerajaan Malaka yang mempercepat runtuhnya kerajaan Majapahit. Setelah mengalami keruntuhan masyarakat Majapahit pergi untuk menyelamatkan diri dan memulai kehidupan baru mereka menyebar ke berbagai wilayah seperti di lereng gunung Bromo yang sekarang dikenal sebagai Suku Tengger, Blambangan yang dikenal sebagai suku Osing dan Bali.  Setelah itu, orang-orang yang mengungsi ke Blambangan mendirikan kerajaan Blambangan yang menjadi kerajaan yang bercorak hindu-buddha.

Terakhir kedekatan sejarah ini terlihat dari budaya suku Osing yang mendirikan kerajaan dengan corak Kerajaan Majapahit. Masyarakat yang dikenal sebagai suku Osing ini pun percaya bahwa Alas Purwo atau yang lebih dikenal Taman Nasional Alas Purwo ini menjadi tempat persembunyian rakyat Majapahit dari kerajaan Mataram. Kerajaan Mataram Islam dalam sejarahnya tidak pernah memperluas kekuasaannya sampai menancapkan kekuasaan di kerajaan Blambangan. Faktor inilah yang menyebabkan masyarakat Osing memiliki kebudayaan yang berbeda dengan suku Jawa, bahkan mayarakat Osing lebih cenderung memiliki kesamaan dengan suku Bali. hal tersebut terlihat dari kesamaan struktur bangunan dengan rumah adat Bali. Bahasa suku Osing memiliki bahasanya sendiri yaitu bahasa Osing bahasa ini pun lebih seperti dialek bahasa Jawa kuno dan berbeda dengan dialek bahasa Jawa pada umumnya seperti penggunaan "Paran" yang berarti "apa" dan "Isun" yang berarti saya dan masih banyak lainnya.

Rumah Adat Suku Osing

Gambar 2 : Beberapa bagian dari rumah adat Suku Osing (Dokpri)
Gambar 2 : Beberapa bagian dari rumah adat Suku Osing (Dokpri)
Rumah adat suku Osing yang terletak di desa Kemiren memiliki ciri-ciri unik dalam arsitektur dan tata letaknya. Salah satu ciri yang menonjol adalah orientasi bangunan yang tidak menghadap ke arah gunung, melainkan menghadap ke arah jalan. Hal ini menandakan pentingnya hubungan dengan komunitas dan lingkungan sekitar dalam tradisi mereka.Rumah adat suku Osing juga dikenal karena atapnya yang memiliki tiga bentuk berbeda, yaitu Tikel Balung, Cerocogan, dan Baresan. Tikel Balung merupakan atap dasar yang umumnya terdiri dari empat bidang atap, menjadi ciri khas yang sering dijumpai di rumah-rumah warga. Baresan, meskipun lebih sederhana dengan hanya tiga bidang atap, sering digunakan sebagai tambahan untuk memperluas ruang jika dibutuhkan oleh keluarga yang bertambah anggotanya. Sementara itu, Cerocogan merupakan tipe bangunan paling sederhana dari ketiganya, sering kali digunakan sebagai dapur atau bangunan tambahan yang fungsional namun tidak berdiri sebagai bangunan inti. Penggunaan ketiga jenis atap ini mencerminkan adaptasi suku Osing terhadap kebutuhan rumah tangga mereka dalam konteks budaya dan lingkungan yang mereka tempati.

Rumah adat Suku Osing adalah contoh ang unik dari arsitektur tradisional yang tidak hanya mempertimbangkan fungsi fisik tetapi juga mengandung makna yang mendalam dari setiap aspek konstruksinya. Struktur utama rumah adat Osing didominasi oleh empat tiang utama yang disebut saka guru, yang tidak hanya berfungsi sebagai penyangga fisik tetapi juga melambangkan persatuan dan keharmonisan dalam keluarga. Sistem kontruksi menggunakan tehnik tanding tanpa penggunaan paku melainkan menggunakan sasak pipih (paju) yang menunjukkan kearifan lokal dalam memanfaatkan bahan alami.

Bagian-bagian seperti Saka Tepas, Jait Cendek dan Dowo tidak hanya berperan sebagai struktur pengikat yang kuat tetapi juga memancarkan symbol integrasi dan kesatuan dalam kehidupan keluarga. Ander dan Reng, sebagai bagian dari kerangka atap yang mewakili kerja sama dan keselarasan antara dua individu yang membentuk sebuah rumah tangga. Detail-detail seperti Dopak dengan motif batik Gajah Oling, Ampik-ampik yang dihiasi dengan ukiran khusus, serta elemen-elemen penguat seperti Lambyang, Glandar, dan Lambyang Pekul, menambahkan nilai estetika dan keunikan budaya yang mendalam pada setiap rumah adat Suku Osing.

Atap Genteng yang terbuat dari tanah liat berfungsi sebagai pelindung dari cuaca, sementara Hek dan Gedheg memberikan ciri yag khas pada batas-batas ruang dalam rumah tersebut. Gebyug dengan ukiran kayunya yang indah, menunjukkan kehalusan seni rupa lokal yang diwariskan dari generasi ke generasi. Bentur, sebagai halaman rumah yang sering ditanami dengan tanaman tradisional, tidak hanya menciptakan nuansa alami tetapi juga memperkuat hubungan antara manusia dan lingkungannya.

Dengan demikian, rumah adat Suku Osing bukan hanya sebuah tempat tinggal, melainkan juga simbol kekayaan budaya dan kearifan lokal yang terus dijaga dan dilestarikan oleh masyarakatnya. Setiap elemen dalam konstruksinya tidak hanya memiliki fungsi praktis, tetapi juga menceritakan cerita tentang sejarah, nilai-nilai kehidupan, dan keterlibatan manusia dengan alam sekitarnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun