Mohon tunggu...
Cornelius Lilik
Cornelius Lilik Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - bocil

gg geming kata ilham

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Analisis Kritik Sastra "Jalan Tak Ada Ujung" Karya Mochtar Lubis dengan Pendekatan Mimetik

28 Februari 2022   21:54 Diperbarui: 28 Februari 2022   21:55 3481
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Beberapa "warlord" kecil-kecil telah timbul. Kepala bermacam-macam pasukan bersenjata yang tidak memperdulikan sesuatu apa. Banyak pula yang telah mulai memeras rakyat, minta beras, sapi, uang. Dan kekejaman kekejaman yang berlaku. Terkadang aku merasa malu, mengingat kita mengutuk dan menyumpah teror yang dijalankan NICA di Jakarta. Tetapi kita sendiri juga telah mulai menjalankan teror pada rakyat kita sendiri." (Lubis, 1952, p. 97)

Revolusi ini, atau yang sering disebut sebagai Masa Bersiap oleh sekelompok orang, memang sejatinya dikenal sebagai salah satu fase yang kelam dalam sejarah Indonesia. Masa Bersiap dapat dikatakan identik dengan maraknya tindak kriminal dan kekerasan yang ditujukan kepada orang Belanda dan Indo-Belanda (Irsyam, 2017, p. 57), walaupun pada akhirnya warga asli Indonesia terkena imbasnya juga. Premanisme ini marak ditemukan di Pulau Jawa dan Sumatera secara merata.

Tidak berhenti pada premanisme saja, penindasan juga terjadi secara membabi buta oleh mereka yang mengaku sebagai 'laskar'. Hal ini dapat terlihat dari bagaimana mudahnya seorang 'laskar' membunuh dua perempuan beretnis Tionghoa hanya karena dianggap sebagai ancaman.

"... katanya, "bangkai mata-mata musuh. Dua orang perempuan Tionghoa. Kita potong tiga hari yang lalu. Ketangkap lagi lewat di kampung. Diperiksa tidak mau mengaku, katanya mau menagih hutang. Hutang apa-hah, terus dibeginiin."  (Lubis, 1952, p. 81)

Hal ini sejalan dengan tulisan Kwee Thiam Tjing, seorang jurnalis di era revolusi, yang dalam memoarnya tercatat bahwa semua orang yang dinilai sebagai mata-mata NICA atau 'anjing NICA', akan dipukuli dan dikeroyok secara membabi buta, tanpa adanya investigasi atau proses pengadilan terlebih dahulu (2017, p. 57). Bahkan, penindasan ini dapat berujung pada pembunuhan secara brutal. Peristiwa ini dapat terjadi di mana saja dan terjadi pada siapa saja, tidak memandang bulu.

Selain permasalahan sosial, permasalahan ekonomi juga menjadi isu yang tidak kalah penting pasca kemerdekaan. Adanya penutupan perdagangan luar negeri oleh Belanda, kas negara yang kosong, dan eksploitasi yang telah dilakukan oleh penjajah sebelumnya membuat negara Indonesia lemah akan perekonomian (Zulkarnain & Onifah, 2016, p. 2). Sebagai imbasnya, harga-harga kebutuhan pokok meningkat dan rakyat menjadi tertekan.  Hal ini tersorot dalam novel, di mana Guru Isa yang berprofesi sebagai guru sering tidak mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari.

"Dan di rumah uang telah habis. Jika diambilnya sebungkus, tidak ada orang yang akan tahu, pikirnya. Dan dengan uang itu dia akan dapat membeli beras." (Lubis, 1952, p. 23)

Bahkan, Guru Isa sempat berpikir untuk mencuri buku tulis yang dimiliki oleh sekolah tempat ia bekerja, demi memperoleh uang untuk membeli kebutuhan pokok terpenting, yaitu beras.

Beras di era revolusi menjadi komoditas yang penting, tetapi mahal dan cukup sulit dicari. Hal ini dipicu oleh banyaknya perkebunan dan instalasi-instalasi industri yang berada dalam kondisi buruk (Zulkarnain & Onifah, 2016, p. 3). Meningkatnya jumlah penduduk secara drastis dan kurangnya produksi beras pada akhirnya menciptakan kenaikan harga. Upaya untuk mengimpor beras juga tidak dapat dilakukan, karena blokade perdagangan luar negeri yang dilakukan Belanda. Penggambaran kenaikan harga ini terlihat jelas ketika seorang perempuan hendak membeli beras di sebuah warung.

"Kasih saya beras dua liter," katanya pada anak Baba Tan yang menjaga warung. Anak itu membungkus beras dua liter dan diletakkannya di atas meja di depan perempuan itu.

"Enam rupiah!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun