Mohon tunggu...
Cornelius Lilik
Cornelius Lilik Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - bocil

gg geming kata ilham

Selanjutnya

Tutup

Hobby

Manusia dan Takut dalam Revolusi

1 Oktober 2021   19:20 Diperbarui: 1 Oktober 2021   19:37 280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : https://mojokstore.com/product/jalan-tak-ada-ujung/

Judul: Jalan Tak Ada Ujung

Penulis: Mochtar Lubis

Penerbit: Yayasan Pustaka Obor Indonesia

Tahun Terbit: April 1992

Jumlah Halaman: vi + 167 halaman

Cetakan : Ketujuh, Februari 2016

ISBN: 978-979-461-980-3

Setiap manusia tidak luput dari rasa takut. Sebesar dan sekuat apapun orang tersebut, pasti ada rasa takut yang menyelimuti dalam dirinya. Takut akan kematian, takut akan kekerasan, takut akan kehilangan, hingga takut akan perubahan. Itulah yang dialami oleh Guru Isa, seorang guru sekaligus pejuang bawah tanah di masa revolusi kemerdekaan Indonesia. 

Orang-orang sering memandang bahwa revolusi kemerdekaan merupakan suatu hal yang indah, besar, dan penuh dengan rasa keberanian. Suatu permulaan baru, halaman baru yang cerah bagi bangsa yang baru saja terbentuk ini. Namun, di samping gelora dan hiruk-pikuk kemerdekaan, terdapat sisi kelam yang jarang sekali dilihat oleh publik. Mochtar Lubis, dalam bukunya yang berjudul Jalan Tak Ada Ujung, mengupas semua hal tersebut.

Guru Isa tinggal di Jakarta bersama dengan istrinya, Fatimah, dan anak pungutnya di tahun 1946, satu tahun setelah proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia bergema di seluruh penjuru dunia. 

Meskipun telah merdeka, rasa takut akan kedatangan Belanda masih terus menyelimuti masyarakat. Setelah para pasukan Jepang kembali ke kampung halaman mereka, kini giliran para pasukan Belanda beserta sekutu-sekutunya yang tergabung dalam NICA (Netherlands Indies Civil Administration) datang kembali menggantikan Jepang untuk mengambil alih Indonesia. Namun, bangsa Indonesia tidak hanya tinggal diam. Berbagai macam perlawanan rakyat terus diupayakan untuk mengusir Belanda dari tanah air tercinta.

Guru Isa hidup dengan penuh kesulitan, sulit memperoleh stabilitas ekonomi dan juga mempertahankan pernikahannya. Ditambah dengan kondisi negara yang juga dalam ancaman perang, membuat beban pikiran Guru Isa semakin menjadi-jadi. 

Karena tidak ada pilihan lain, ia tetap menjalani hidupnya sebagai seorang guru. Suatu hari saat Guru Isa sedang berjalan menuju sekolah tempat ia bekerja, tiba-tiba terdengar suara truk-truk pasukan NICA dari kejauhan. 

Seketika, semua orang langsung mencari perlindungan untuk menyelamatkan hidup mereka masing-masing. Jalanan tinggal penuh debu. Beruntung orang Indonesia dikenal dengan keramahannya, sehingga Guru Isa dapat dipersilakan untuk berlindung di rumah seorang dekat lokasi tersebut. Tak lama setelah berlindung, datang seorang pemuda bersenjatakan pistol menghampiri mereka. Ia memberitahu Guru Isa dan sang pemilik rumah untuk tidak pergi ke luar terlebih dahulu. Tak lama kemudian, suara tembakan terdengar.

Saat situasi sudah lebih tenang, orang-orang mulai kembali ke luar untuk melanjutkan aktivitas mereka. Ketika hendak melanjutkan perjalanannya, ia melihat ada kerumunan orang yang melingkar. 

Penuh rasa penasaran, ia datang menghampiri lingkaran orang tersebut. Tak disangka, seorang pria Tionghoa tergeletak penuh darah di tangan putrinya sendiri. 

Dalam benak Guru Isa, ketakutannya semakin bertambah dan memenuhi pikirannya. Guru Isa memang orang yang membenci kekerasan. Bagi dirinya, pertumpahan darah tidak ada arti dan manfaatnya. Namun sekali lagi, ia tetap merasa takut. Takut mati, takut tertembak, takut ditangkap dan dibawa oleh tentara NICA.

Sejak pengalamannya itu, ia akhirnya berkawan dengan pemuda bersenjatakan pistol yang ia temui. Namanya adalah Hazil, seorang anak pensiunan Belanda yang penuh ambisi dalam perjuangan revolusi ini. 

Hubungan antara Guru Isa dengan Hazil memang tidak masuk akal, seorang yang takut akan kematian berteman dengan seorang yang berani mati seratus persen demi bangsanya. Seorang yang sudah berusia puluhan tahun dan sudah berkeluarga dengan anak muda yang belum memiliki pengalaman dalam hidup. 

Namun, ada satu hal yang menyatukan mereka berdua, yaitu rasa kecintaan mereka akan musik. Dari pertemanan tersebut, Hazil akhirnya mengajak Guru Isa untuk melakukan gerakan perjuangan bawah tanah. Walaupun dirinya enggan dan takut akan semua resikonya, ia tetap menerima ajakan Hazil. Selain daripada itu, ia juga takut dianggap sebagai pengkhianat negara, jika tidak memperjuangkan kemerdekaan.

Berbagai macam misi mereka jalani, mulai dari menyeludupkan senjata-senjata kepada pejuang-pejuang daerah hingga melakukan aksi teror terhadap para tentara-tentara Belanda. Setiap kali Guru Isa beraksi dengan Hazil, rasa takut dalam dirinya semakin bertambah kuat juga. Di rumahnya, ia kerap terbangun di malam hari karena mimpi-mimpi buruk yang menghantuinya. 

Dalam salah satu mimpinya, ia berjalan di sebuah jalan yang panjang. Di belakang dirinya, nampak sosok Fatimah dan Hazil yang sedang naik truk, melewati Guru Isa tanpa memperhatikan dirinya. 

Kini ia sadar, bahwa segalanya yang telah ia lakukan dan tekuni tidak akan ada ujungnya. Jalan yang tidak ada ujungnya. Ia juga sering terbangun oleh suara-suara yang ia kira suara para polisi Belanda yang hendak menangkap dirinya. Padahal, suara tersebut hanyalah suara pepohonan dan orang-orang yang lewat di depan rumahnya.

Satu tahun telah berlalu, kondisi Guru Isa terus memburuk. Dirinya yang awalnya sehat, kini menjadi sakit-sakitan karena rasa takutnya yang terus mengocok-ocok pikirannya. Ia sering tidak masuk bekerja, hanya beristirahat di ranjangnya. 

Terkapar tak berdaya, hanya bisa memandang istrinya yang tak lagi dipenuhi rasa cinta. Ketika Guru Isa memandang istrinya, ia hanya melihatnya sebagai orang asing yang tak ia kenal lagi. Beruntung, Hazil masih datang untuk berkunjung menjenguknya. Fatimah yang melihat Hazil sebagai seorang yang masih muda, kuat, dan penuh dengan api semangat, mulai memalingkan pandangannya. Apa daya, suaminya kini tidak lagi seperti dirinya di masa muda. 

Melihat Guru Isa yang tidak berdaya, Hazil dan Fatimah bermain di belakang dirinya. Ketika Guru Isa berangkat kerja, Hazil datang ke rumah Guru Isa untuk menemui Fatimah. Perselingkuhan ini terjadi cukup lama, hingga akhirnya Guru Isa tersadar.

Saat Hazil hendak pergi untuk beberapa saat, ia menemukan pipa yang biasa Hazil bawa di bawah bantal tidurnya. Seketika pikirannya lari ke mana-mana. Ketakutan yang awalnya ada pada benaknya saja kini hadir dalam keluarganya. Kehancuran pernikahan mereka. Fatimah tidak ada di rumah kala itu, Guru Isa langsung menyembunyikan pipa itu ke dalam lacinya dan menguncinya.

Ia tidak dapat menghadapi hal ini. Ia tidak bisa menerima kenyataan pahit ini. Dirinya tetap memikirkan hal-hal yang positif, tetapi di dalam hatinya ia tahu apa yang sebenarnya telah terjadi. 

Hazil ketika kembali ke rumah Guru Isa, langsung mencari-cari pipa tersebut. Fatimah mengatakan dirinya tidak menemukan pipa yang dimaksud. Tanpa mereka berdua sangka, Guru Isa sudah mengetahui perbuatan mereka di belakang dirinya.

Hazil, yang masih terus berjuang dalam organisasi bawah tanahnya, kini mulai sadar bahwa perlawanan tidak berbuah hasil. Akhirnya ia merencanakan misi terakhir, di mana dirinya beserta kawannya, Rakhmat, akan melemparkan granat tangan ke depan teater tempat para prajurit-prajurit Belanda menghibur diri mereka. Guru Isa awalnya enggan ikut, tetapi akhirnya terpaksa hadir karena harus mengawasi hasil dari misi mereka dan melaporkannya kepada organisasi. Semua berjalan dengan lancar dan mereka bertiga berpencar. 

Misi ini berhasil melukai sejumlah prajurit Belanda dan mengakhiri hidup dua prajurit Belanda. Cukup untuk membangkitkan semangat mereka. Namun, di samping itu, lagi-lagi Guru Isa dilanda rasa takut. Takut dirinya akan ditangkap. Saat hendak tidur setelah mengawasi misi tersebut, ia mendengar anaknya, Salim, menangis di tempat tidur. Katanya, Salim takut tidur dalam kegelapan. Ia sontak kaget dan tersadar. Selama ini, bukan dirinya saja yang merasa takut. Semua orang memilikinya.

Tak lama setelah pengeboman tersebut, polisi datang ke rumahnya. Mereka hendak membawa Guru Isa untuk ditanya-tanyai seputar pengeboman waktu itu. Ketakutan yang ia rasakan selama ini akhirnya datang. Di kantor polisi, akhirnya Guru Isa dipertemukan dengan Hazil yang sudah babak belur. Ternyata, Hazil berhasil tertangkap dan segala informasi berhasil diperoleh dari dirinya. Hazil yang dulu pemberani, sekarang merasa takut. Takut akan siksaan dan rasa bersalah setelah mengkhianati Guru Isa.

 Di samping itu, kini Guru Isa tidak lagi merasakan takut tersebut. Siksaan yang ia alami tidak semenakutkan yang ia pikirkan. Berbeda dengan Hazil, yang kini hanya tergeletak di sel, menangis dan memohon ampun setiap saat. Guru Isa sudah berdamai dengan rasa takutnya itu, layaknya Salim yang kini tidak takut tidur dalam kegelapan.

Novel karya Mochtar Lubis ini sungguh menggambarkan situasi masyarakat Indonesia kala itu. Ketidakpastian akan kemerdekaan yang telah diraih, ketakutan akan perang dengan Belanda, hingga kesulitan dalam pemenuhan kebutuhan hidup. Semuanya dapat kita lihat dari kehidupan Guru Isa yang mencerminkan betapa kerasnya hidup kala itu. 

Suasana yang ngeri dan mencekam juga dapat terealisasikan, seperti di saat Guru Isa harus bersembunyi dari penggeledahan yang dilakukan oleh prajurit NICA dari India. Kengerian-kengerian lainnya seperti pembunuhan kilat, di mana para pejuang maupun tentara NICA melakukan eksekusi kepada mereka yang dianggap mencurigakan tanpa pengadilan juga ditampilkan dengan sangat jelas. 

Tidak hanya itu, perkembangan karakter dari para tokoh juga menjadi salah satu daya tarik dalam novel ini. Guru Isa yang merupakan seorang yang lemah, penakut, dan tidak berdaya, pada akhirnya mengakui ketakutannya itu dan hidup bersama dengannya. Ia mampu berubah sejak dirinya melihat Salim kecil berdamai juga dengan rasa takutnya. 

Sebaliknya, Hazil malah mengalami degradasi mental semenjak dirinya tertangkap dan disiksa oleh para tentara NICA. Yang awalnya gagah, muda, dan penuh ambisi, kini hanya bisa berdiam menyesali perbuatannya sambil menangis memohon ampun. 

Sama seperti Hazil, Fatimah juga mengalami perubahan. Dirinya yang awalnya berkomitmen untuk tidak berselingkuh karena dianggap sebagai hal yang hina dan menjijikkan, akhirnya merusak komitmen tersebut dan melakukan zina. Perubahan karakter ini menambah kedalaman cerita, di mana perkembangan setiap karakter mempengaruhi kehidupan mereka. 

Novel ini juga mendapat sambutan baik di mata publik. Setahun setelah diterbitkan Balai Pustaka pada tahun 1952, Jalan Tak Ada Ujung memperoleh penghargaan dari Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional. Novel ini juga sempat diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul A Road with no End pada tahun 1968 oleh A.H. Johns dan Mandarin tahun 1988. Selain itu, novel ini juga sering dijadikan topik tesis dan disertasi, baik di dalam negeri maupun mancanegara.

Sang penulis, Mochtar Lubis, memang dikenal sebagai seseorang yang eksentrik dalam menulis isi cerita novel-novelnya. Salah satu kekhasan dari novel-novel Mochtar Lubis merupakan latar waktunya, yaitu di saat Indonesia sedang menghadapi revolusi kemerdekaan. 

Profesinya yang dahulu sebagai seorang wartawan, membuat cerita yang dirangkainya sangat kritis akan keadaan saat itu dan menyorot sisi-sisi lain dari revolusi. Salah satunya adalah sisi kemanusiaan dari rakyat Indonesia, di mana perang dan revolusi juga memiliki dampak yang buruk pada manusia. 

Pada novel Jalan Tak Ada Ujung ini, penulis menyoroti bagaimana manusia merasa takut, takut akan berbagai macam hal. Termasuk takut bagaimana mengatasi ketakutannya tersebut. Novel ini sangat layak dibaca, terutama untuk masyarakat Indonesia yang ingin merasakan suasana di era revolusi.

Di akhir kata, Mochtar Lubis ingin menyampaikan bahwa setiap manusia pada hakikatnya memiliki rasa takut. Terlepas dari fisik, jabatan, usia, jenis kelamin, dan lainnya. Manusia tidak akan pernah lepas dari rasa takut itu, akan tetapi mereka dapat berdamai dengan rasa takut tersebut. Hidup bersama secara harmonis dengan rasa takut. Dengan begitu, kita dapat menempuh jalan yang telah dipilih dan ditempuh. Jalan yang tidak ada ujungnya. 

Sumber : 

http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Mochtar_Lubis

http://ngopisajah.blogspot.com/2015/06/review-novel-jalan-tak-ada-ujung.html,

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun