Â
Sepi. Hanya ada dia dan sopir dalam bus yang ditumpanginya. Krenek pun tidak ada. Dunianya yang sepi berduka atas persahabatannya. Sekarang ia hampa -- bercinta bersama kehampaan. Dunia yang ramai menjadi begitu sepi. Sepi, sampai ia menginjakkan kaki di halte terdekat dari rumahnya.
Â
Â
"Astaga! Kakek...!!" Berlari ia menuju rumahnya. Pintu rumahnya yang berwarna putih terbuka lebar, tertinggal secara jelas beberapa corengan darah. Seketika ia merasakan kesendirian yang paling dalam saat melihat kamar kakeknya sudah tak beraturan. Apakah mungkin fisiknya yang ringkih itulah yang menyematkan tetesan darah di kasur dan jejak seretan yang bermuara di pintu rumah? Pintu sisi kiri rumahnya terbuka. Ia keluar melalui pintu itu. Ada lubang dekat pohon jati. Ada api dan abu-abu yang menjilat-jilat dari lubang itu. Ternyata, sebongkah buku sedang melewati pemanggangannya. Itu buku-buku kakeknya. Ia mematung -- menitiskan satu air mata pada lubang itu. Tak lama telepon rumah berdering, menggangu duka yang baru saja dimulai. Kembalilah ia ke dalam rumah dan mengangkatnya.
Â
"Halo, apakah ini Bong?" Tanpa Tjie mengerti siapa lawan bicaranya, ia menjawab, "Ya, ini saya." Ternyata, Â "Bong.....ini Abdul. Bagaimana? Sudah sadar? Mau bergabung bersamaku lagi? Membasmi buntut kebusukan Soekarno, seperti yang telah terjadi di rumahmu hari ini, mungkin?" Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H