Â
Sebulan yang lalu, sebelum clash di kelas, selepas pulang kebaktian di GKI Menteng, Tjie menaiki sepedanya menuju rumah Abdul yang dekat dengan Masjid Sunda Kelapa. Rumahnya  Tjie berada dekat GKI Menteng, jaraknya sekitar 700 meter dengan rumahnya Abdul. Tjie menggendol tas berisikan setumpuk koran harian dari Sinar Harapan, Kompas, dan Indonesia Raya. Sampai di rumah Abdul ia disambut dengan hangat oleh ayahnya Abdul, Pak Sumarto. Ia sedang menyiram beberapa tanaman hiasnya di depan pekarangan rumah. "Masuk aja, Nak. Abdul ada di dalam. Dipanggil aje, ntar juga nyaut." "Siap, Pak Marto." Nada riang dan tinggi Tjie membelai sejuk dan lembapnya pagi di pekarangan rumah Abdul, "Dul...Dul. Ini Bong!" Tak lama terdengar teriakan, "Sek! Gue ganti baju dulu." 5 menit berselang Abdul menghampiri Tjie yang sedang duduk di ruang tamu dan duduk bersama. "Eh Elu...Oh iya! Selamat Natal ya...saudaraku." "Oh, iya. Makasih Dul..."
Â
"Bagaimana bisa pemerintah bersikap seperti ini? Gua pernah lihat satu kilometer dari gerbang istana negara, seorang kakek yang ngambil makanan sisa dari tempat sampah. Bapak-bapak bangsa kita terbuai dengan kenyamanan di istana. Di luar, orang-orang mulai mencari makanan dalam tumpukan sampah," ucap Tjie sembari melebarkan halaman kedua koran Kompas yang menjabarkan secara gamblang kenaikan harga sembako. "Harus apa kalau seperti ini? Dasar boneka PKI! Kita perlu bergerak. Kalau kita mengkritik pemerintah melalui surat kabar rasa-rasanya hanya menjadi isapan jempol. Dikira kita hanya berani lewat tulisan," sambung Abdul dengan semangat. "Ada benarnya. Tapi, siapa yang bisa kita ajak bergerak?" Pertanyaan Tjie ini direnungkan sejenak oleh Abdul. "Begini, Lu pernah baca novel Les Miserables. Yang angkat senjata kebanyakan orang muda. Mahasiswa. Kita sebagai poros intelektual yang independen harus menungkas kebobrokan ini," ucap Abdul seraya meyakinkan idenya ini. "Ehm...ada benarnya. Tapi Lu mau ngadepin pasukan Cakrabirawa, panser sama tank-tanknya. Yang kita hadepin itu bukan Soekarno dan menteri-menteri lembeknya itu. Kita bakal ngadepin partai-partai pro-Soekarno dan TNI!" Respon yang skeptis ini dikonfontir Abdul dengan lembut, "Memangnya Lu mau buat tentara sendiri. Kalau kita ditembak, santai aja! Nanti mata internasional akan meyoroti Soekarno sebagai boneka PKI yang tidak kenal kemanusiaan. Masa pendemo yang modalnya teriak-teriak dilawan pake senajata. Siapa yang goblok?" Diskusi mereka berlanjut sampai kira-kira pukul 12 siang. Konferensi empat mata ini ditutup oleh Tjie, " Yaudah. Nanti kita sampaikan di rapat dewan mahasiswa." Sambil memasukkan koran-koran yang berantatakan penuh coretan, pungkas Abdul, "Ok, Tjie. Tapi Tjie, gua boleh tanya sesuatu nggak?" "Iya, kenapa?" "Kan gua pernah itu ke rumah lu. Pas itu kita mau ke kamar lu yang ada di bagian belakang rumah. Nah, pas sampe di kamar tengah dekat meja makan di dalamnya gua ngliat ada seorag pria ngadep ke pintu, lagi duduk dekat meja dan baca buku. Pas itu gua lupa nanya ke lu. Itu siapa?" "Oh, itu kakek gua. Namanya Franz Wiryodimejo. Dia emang kutu buku." "Buset. Eropa campur Jawa ya? Emang dulu kerjaannya apa?" "Pernah jadi dosen di Finlandia. Itu tahun 1950-an. Sebelumnya pernah mengajar di Georgia dan Armenia." Mendengar itu diam-diam Abdul terkejut. Dalam pikirannya, "Bukankah sekitaran tahun itu Georgia dan Armenia bagian dari Uni Soviet?" Ia ingat kembali secara samar buku yang kakeknya Tjie baca saat itu, buku dengan cover merah dengan siluet bersilang antara palu dan clurit. Seketika permenungannya disambar, "Woy! Malah bengong. Dah ya, gua balik dulu. Makasih ya." "Eh iya dah," masih dengan tatapannya yang bingung. Tjie segera pulang ke rumah, dan Abdul, duduk termenung bersama kesamarannya. Asumsi apa yang kira-kira mucul?
Â
11 Maret 1966. Mulailah nasib sang pembuat onar dilahap siksa pedang, tali, pisau, dan senjata. Kecurigaan adalah prahara umum yang naik daun. Seseorang bisa memata-matai petani kalau-kalau caping atau cangkulnya diterima secara gratis.
Â
Di rumah, berhadapan dengan televisi yang menampilkan geliat massa yang membungkam para komunis, ia berkata, "Tidak boleh dibiarkan. Tjie menjadi ragu karena kakeknya. Sial!" Persahabatan mereka tidak muncul ke permukaan. Tragedi di kelas berkepanjangan menaikan  beragam asumsi yang diaduki oleh realita kontemporer. Telepon rumahnya berdengung. Ibuinya keluar dari kamar hendak mengangkat telepon karena biasanya Abdul diam saja meski telepon itu berdering beberapa kali. Sambil beranjak dari sofa, "Eh Bu! Biar aku saja yang angkat teleponnya." "Lah, tumben Dul..." Segera saja Abdul mengangkat teleponnya, "Halo...halo..." "Halo! Apakah benar ini dengan Saudara Abdul?" "Ya, benar." "Ini Letnan Moses. Bagaimana perkembangan terbaru target kita, si Tjie?" "Maaf, Letnan. Bukan Tjie-nya tapi kakeknya Tije. Salah satu buktinya adalah cerita saya ke Letnan dua hari yang lalu bersama pengamatan saya kemarin malam." "Kemarin malam? Apa yang kamu amati?" Untung saja ibunya sudah pergi ke kamar lagi. Tapi kali ini sambil berbisik, "Pas tengah malam saya pergi ke rumah si target. Sejenak saya memantau melalui angkringan. Letaknya itu arah pukul 8 dari halaman depan rumahnya. Setelah saya memantau sekitar sepuluh menit, target keluar dari pintu sisi kiri rumah. Ia mengangkat segumpalan sprei. Tapi anehnya, sprei itu dikubur pada suatu lubang yang nampaknya sudah digali sebelumnya, kira-kira satu meter dari rumah, dekat pohon." "Pohon apa?" "Waduh. Saya tidak tahu nama pohonnya dan tidak saya identifikasi karena tiba-tiba saya ditanya oleh bapak penjual angkringan yang melihat gelagat saya yang aneh saat memandang rumah si target. Lalu saya pura-pura membeli gorengan dan pulang. Tetapi yang jelas pohon itu ada di sisi kiri rumah dan paling dekat dengan rumah." "Baiklah. Terima kasih atas infonya. Selamat pagi," lalu ditutup nada akhir telepon.
Â
Pukul 7 pagi. Tak biasanya gang depan rumahnya sepi seperti ini. Biasanya ada tukang sayur dan tukang bubur yang singgah bersama ibu-ibu kampung yang ngrumpi. Kemuadian Tjie berpamitan dengan kakeknya dan pergi ke kampus. Orang tuanya masih di luar kota. Ke kampus hanya untuk menyerahkan naskah esai, tugas dari Pak Rusdi. Semua teman-teman yang lain juga datang, terkecuali Abdul. Saat tema-teman yang lain sudah pulang, Tjie tak juga melihat sosok Abdul. "Ehm...ke mana ya, Dia? Padahal gua datang pertama dan pulang terakhir." Â Â Â
Â