1966. Kejanggalan dan pekatnya kebusukan di percaturan politik Soekarno merasuki akal sehat dan idealisme dari yang merasa tertindas. Kepentingan tak berarah dikonfrontir dengan selusin tuntutan rasional berbuntut moral. Aksi-aksi protes dan pembangkangan diluncurkan oleh mereka yang sadar akan situasi; melantunkan rangkaian tuntutan agar keadaan rakyat semakin pulih. Apakah dunia ini tidak cukup manusiawi lagi? Sayangnya, di balik ini, Tjie Bong tidak memosisikan diri pada prahara politik dalam upaya menegakkan marwah masyarakat. Ia lebih memilih berontak pada busuknya persahabatan manusia.
Adzan sholat subuh menggema di jenuhnya komplek tak beraturan rumah Menteng yang disinggahi orang Betawi dan Cina peranakan. Tjie Bong, laki-laki berusia 20 tahun, memulai paginya dengan bertengger di atas atap rumahnya, duduk di landainya formasi genteng. Tatapan tajamnya diarahkannya ke halte bus kota yang berjarak 5 meter dari sisi kiri rumahnya. Berdiri di sana selusin orang muda, mungkin sepantarannya, mengenakan jaket khas anak kuliah, kuning warnanya. Beberapa dari mereka membawa mikrofon, bendera, dan pilox. Di kepala mereka terikat seutas kain yang ia yakin ada tulisannya. Beberapa menit kemudian bus Metro Mini berhenti di halte itu, naiklah mereka dengan wajah sangarnya. Melihat itu ia bergumam, "Siapa yang peduli dengan urusan politik? Mengapa mereka mau menggulingkan rezim ini sedangkan kebobrokan politik akan selalu ada? Hah...sia-sia." Dua hari lalu sempat ia memikirkan hal yang serupa. Suatu upaya penggulingan rezim sekarang bersama kawan-kawannya se-fakultas. Tetapi sekarang, ia sangsi dengan pikiran dan kawan-kawannya sendiri. Seperti seorang prajurit yang bertanya: mengapa kita harus mengangkat senjata dan bertempur?
Pukul 6 pagi, menu sarapannya adalah koran Sinar Harapan dan kopi Kapal Api tanpa gula. Pukul 7 pagi, ia bersiap-siap menuju ke kampusnya yang berlokasi di Salemba. Hari ini ia memang berangkat lebih molor dari biasanya. Biasanya pukul 6 ia sudah berangkat. Kedua orang tuanya sedang pergi ke luar kota. Di rumah hanya ada dia dan kakeknya. Untung saja kakeknya masih sehat maka ia tidak terlalu kesulitan mengurusnya. Kakeknya adalah pensiunan dosen. Mengampu mata kuliah Filsafat Timur di beberapa universitas di Benua Eropa. Kesukaannya adalah membaca buku, sama seperti Tjie Bong.
Di halte, Tjie Bong menunggu angkutan umum dengan rute yang melewati Halte R.S. Carolus. Bus kota yang ia tunggu tiba dan perjalanan dimulai. Saat melewati  Halte Pasar Senen bus ini tidak mengarah ke Salemba melainkan berputar ke arah Menteng. Ia berdiri dan bertanya dengan nada tinggi, "Loh Pak! Kok nggak ke arah Salemba?" "Oh, iya Mas. Hari ini mahasiswa lagi pada demo. Tadi saya tanya sama trayek yang lain, seluruh rute ke Salemba dikosongin. Loh Masnya nggak ikut demo?" Pertanyaan itu cukup membacuk sanubarinya yang masih berkelindan keraguan, antara become oppositional atau apatis dengan keadaan. "Nih Pak," tiba-tiba saja ia menyerahkan uang sejumlah Rp.500,- ke sang supir lalu keluar dari bus.
Pilihannya saat ini adalah berjalan melalui pedestrian menuju Salemba. Asap hitam dan debu merayunya dengan geli. Sengatan matahari pagi Jakarta memuncak, mengukus tubuhnya yang berpadu warna krem dan kuning langsat itu. 400 meter di depannya, sorot matanya menyasar pada long march para mahasiswa dan mahasiswi "jaket kuning" yang hendak mendobrak barikade TNI. Ia takut jika dikira dirinya bagian dari mereka. "Lebih baik aku menyingkir dari sini."
Tak lagi melalui pedestrian, jalan tikus menjadi opsi yang paling tepat. Menyusuri perkampungan, memotong rute dan menuju Salemba. Tjie terheran-heran, jalan yang ia susuri seperti kota mati. Hanya ada satu atau dua warga yang ada di luar rumah, itu pun dibalut ekspresi was-was.
Setibanya di kampus pukul 9 lebih 15 menit, Tjie memandang halaman depan kampus yang sepi. Berputar-putar mengeliling komplek kampus. Memang tidak ada mahasiswa, hanya ada beberapa dosen. Pukul 2 siang long march mahasiswa sampai di kampus. Tjie sedang bermain dengan mimpi lelapnya di depan pos satpam kampus. Mereka datang dengan baju yang lusuh, wajah dekil, berkeringat, dan coret-coretan asing di pakaian. Kemudian seseorang datang dan membangunkan Tjie, "Woy Bong! Ngapain Lo? Bisa-bisanya lu tidur." Mimpinya kandas diterpa tepokan ke kepalanya. Tjie mengulet dan menjawab, "Eh, elu Dul. Baru nyampe?" Jawab Abdul dengan nada lelah, " Lo liat sendiri tuh." Tak ada ganjaran setimpal dengan perjuangan mereka. Siapa yang peduli dengan nasib perut mereka yang turun ke jalan dan mencaci peraturan pemerintah soal tingginya harga beras? Abdul, bapaknya orang Betawi -- ibunya blasteran Solo dan Belanda. Kawan karib Tjie sejak hari pertama perpelocoan kuliah. Sama seperti Tjie, kritis dan pendiam, idealis serta moralis. Mereka adalah bagian dari konseptor di KAMI[1] dan demonstrasi hari ini. Namun, ada suatu distingsi, yang tidak mampu menyatukan mereka.Â
Â
Demo-demo selanjutnya, Tjie tidak ikut dan memendam diri di rumah. Abdul, dengan semangat yang berbinar-binar menyelam bersama kawan-kawan lainnya dalam gelombang demonstrasi.
Â
26 Januari 1966, sekitar pukul 3 siang kampus Salemba, kelas Jurusan Sosiologi riuh dengan perbincangan politis, Abdul mampir ke Tjie yang tengah membaca novel karangan Arthur Kostler Darkest at Noon. Dengan nada serius, "Bong, kenape Lu kagak mau ikut dah? Aneh bener Lo! Kayaknya Lo yang paling menggebu-gebu pas rapat dua hari yang lalu soal demonstrasi ini. Kenapa Lu berpaling dari perjuangan kite ini?" Mendengar Abdul, Tjie dengan nada serius menjawab, "Gue nggak berpaling. Kalau berpaling, Gue bakal lapor ke militer biar lu pada ditahan. Nggak usah ada demo-demo beginian. Gue cuman merasa ini semua sia-sia?" Abdul mulai naik pitam namun dengan volume yang kecil, "Apa?! Sia-sia! Lo kira kita ini ngapain? Bukannya semua ini udeh dirancang sampai ke akarnya. Sampai ke 'mengapa' kita ngelakuin ini! Lo gile ya!" Tjie, sambil meletakkan bukunya di meja, dengan santai menjawab, "Emangnya si Karno bangsat itu mau denger suara lu? Emangnya si Subandrio plintat-plintut itu mau diskusi ama lu? Ujung-ujungnya apa? Nggak ada satu pun dari anggota DPR atau menteri-menteri yang Lu ejek kemarin mengiyakan daftar tuntutan itu." Masih dengan volume yang kecil, pitamnya mulai membara, "Yang penting ada usaha! Bodo amat mereka mau denger atau kagak! Yang jelas sebagai orang yang tau keprihatinan, kita beraksi. Lah Lu! Sebagai konseptor lapangan, aksi Lu ini adalah pengkhianatan terhadap gerakan ini. Mati aja Lu..." Abdul pergi ke luar kelas dengan kemarahannya dan Tjie tetap tenang seperti tidak terjadi apa-apa.