Secara umum, masyarakat Dayak merasa kehadiran teknologi pertanian modern tidak diperlukan dan memilih untuk melanjutkan tradisi yang sudah turun-temurun di kalangan mereka.Â
Manfaat malan yang ditaburkan tidak terbatas pada hasil bumi yang dapat memenuhi kebutuhan pangan namun lebih dari itu, masyarakat Dayak telah melihat bumi sebagai subjek yang senantiasa menghidupi mereka.Â
Dalam penerapannya memang terdapat langkah yang kompleks dan tradisional, namun dari sini mental masyarakat yang tidak eksploitatif terhadap alam terbentuk dan pembangunan spiritual masyarakat terwujud dalam aksi nyata. Kekuatan dimensi spiritual itu diperkokoh dengan menghormati Ranying Hatalla melalui alam dan mereka memperlakukan alam selayaknya menghormati Ranying Hatalla.Â
Pemberdayaan ini dilakukan turun-temurun karena dengan cara inilah mereka mengaktualisasikan kedekatan mereka, sekaligus berinteraksi dan beradaptasi dengan wilayah yang mereka tempati.
Mengapa Malan Dilarang?
Problematika yang saat ini dihadapi masyarakat Dayak adalah larangan untuk berladang. Meskipun berladang adalah cara masyarakat Dayak mengungkapkan kedekatan spiritual dengan Sang Ilahi dan sarana pemenuhan kebutuhan mereka sendiri serta masyarakat, metode mereka dalam berladang dinilai merugikan.Â
Larang ini diterapkan semenjak kebakaran hutan dan lahan (karhutla) 2015. Padahal kebakaran itu terjadi karena ekosistem gambut yang rusak saat Proyek Pengembangan Lahan Gambut (PPLG) pada 1995 atau 1996.
Gambut yang kering dan ekosistemnya yang rusak mengakibatkan kebakaran hutan dan lahan sejak musim kemarau 1997 sampai 2015. Alhasil, para peladang tradisional menjadi objek pelarangan atas kebakaran hutan dan ladang ini dan kebanyakan dari mereka tidak berladang lagi. Kondisi ekonomi para peladang tradisional dan aktivitas berladang mengalami penurunan.Â
Jika mereka hendak berladang, tidak diperkenankan untuk membakar lahan atau hasil tebasan dan mengaktifkan peralatan modern seperti traktor, mesin pemotong rumput dan gergaji mesin. Hal ini merugikan peladang yang secara umum konteks ekonominya mengalami penurunan. Hasil bumi yang diproduksi ikut menurun dan pengeluaran biaya yang lebih untuk pembelian alat untuk membersihkan lahan.
Heri Pato, peladang dan tokoh masyarakat Desa Kalumpang mengatakan bahwa sebelum tahun 2015, satu hektar ladang yang digarap menghasilkan 3 ton gabang kering giling (KGK) setiap musim.Â
Hasil tersebut dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan keluarga dalam satu tahun lalu sisanya bisa dijual dan dijadikan bibit. Saat ini keluarga Heri harus membeli beras dan tidak bergantung lagi pada hasil berladang.Â