Mohon tunggu...
Cornelius Juan
Cornelius Juan Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar

Saya Cornelius Juan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Malan, Pembangunan Manusia Otentik Khas Dayak

10 September 2022   21:00 Diperbarui: 13 September 2022   10:59 1154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Metode dalam berladang khas Dayak ini tidak sekedar menanam dan memanen. Ada beberapa tahap yang harus dilakukan oleh para peladang. (Dok. Teresia Jari Jatam Kaltim via KOMPAS.com)

Hal ini dilakukan agar pemilik ladang yang berbatasan dengan lahan yang hendak dibakar mengetahui informasi tentang pembakaran tersebut. Pembakaran atau dalam bahasa Dayak Ngaju disebut menyeha, dimulai dari tumpukan-tumpukan hasil tebasan lalu menjalar ke lahan. 

Proses pembakaran senantiasa dipantau sampai padam oleh beberapa anggota keluaraga dari si peladang. Ladang baru bisa ditanami dua sampai tiga hari selepas pembakaran. Kegiatan menanam pun umumnya melibatkan warga desa lainnya, baik orang tua dan anak-anak, entah laki-laki atau perempuan. 

Umumnya setelah penggunaan ladang selama satu atau dua tahun, hasil panen biasanya menurun karena unsur hara menipis dan ladang tersebut ditinggalkan agar menjadi hutan kembali. Ladang yang telah menjadi hutan itu baru dibabat kembali dalam jangka waktu tertentu.

Murhaini dan Achmadi dalam kajiannya di jurnal Heliyon serangkaian proses berladang khas Dayak ini ternyata ditentukan oleh kondisi tanah dan lingkungan di Kalimantan. 

Kondisinya yang miskin unsur hara mengakibatkan ketidaksuburan tanah. Maka, pembakaran gulma dan tanaman liar lainnya menuang dampak postif bagi tanah yang kekurangan unsur hara karena dengan demikian tanah akan lebih subur dan mendukung proses berladang. Jadi dapat dikatakan bahwa sejak lama masyarakat Dayak memahami kondisi tersebut dan mengambil langkah yang tepat atas kondisi tersebut.

Malan dan Pembangunan

Jika dikaitkan dengan konteks pembangunan dalam kacamata Soejatmoko, pembangunan di Indonesia dapat dilihat dari beberapa dimensi: kebudayaan, teknologi dan kebebasan. 

Dalam dimensi kebudayaan, beliau meyimpulkan bahwa problematika pembangunan dalam perspektif kebudayaan terletak dalam ketakutan menghadapi perubahan-perubahan akibat kehidupan yang lebih modern.

Memang, ada keinginan untuk melakukan perubahan, namun jika perubahan itu sendiri jauh perbedaannya dari susasana, adat, kebiasaan yang lama, perubahan tersebut dapat dinilai negatif dan ditolak. 

Pembangunan tidak hanya berkutat pada seberapa besar penggunaan teknologi namun lebih dari itu, apakah pembangunan itu menyangkut aspek spirtual manusia ataujasmaniah atau keduannya.

Sanyo mengatakan bahwa berladang bagi masyarakat Dayak bukan semata-mata sistem penghidupan dan ekonomi, melainkan sistem pengetahuan, organisasi sosial, peralatan hidup, agama dan keberadaan substansi seni. Ini menandakan bahwa berladang bagi mereka tidak terbatas pada dan demi kemakmuran jasmani, namun menyangkut pengembangan dimensi internal seperti spiritual, intelektual, sosial, dsb. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun