Kritik sastra ini akan membahas membedah novel karya Hamka yang berjudul Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Kritik objektif ini sangat pokok bagi kritik sastra yang secara ingin mencapai hasil kritik sastra yang seobjektif mungkin berdasarkan analisis dengan menggunakan pendekatan struktural. Pendekatan struktural adalah pendekatan yang berorientasi pada karya sastra sebagai analisis yang ditujukan kepada teks itu sendiri sebagai kesatuan yang tersusun dari bagian-bagian yang saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya. Tujuan dari analisis ini adalah untuk memaparkan keterkaitan dan keterjalinan dari berbagai aspek yang secara bersama-sama membentuk wacana. Dalam analisis ini dapat dilihat dari sudut: tokoh dan penokohan, alur, latar, sudut pandang, gaya bahasa, amanat, dan tema. Unsur-unsur itu saling berinteraksi. Oleh karena itu, untuk dapat memahami sebuah karya sastra, harus dianalisis strukturnya.
Novel karya Hamka yang satu ini menceritakan tentang cinta antara Zainuddin sang tokoh utama pria dan Hayati, pujaan hatinya. Kisah dimulai dengan Zainuddin yang berkelana ke desa Batipuh setelah orangtuanya meninggal untuk mempelajari agama lebih dalam. Kisah dilatari dengan adat khas minang yang sangat kental. Hayati merupakan bunga desa Batipuh dan merupakan anak dari ketua suku sedangkan Zainuddin memiliki garis keturunan yang tidak baik. Alhasil cinta mereka pun dipersulit dengan adanya adat yang harus dijaga oleh desa Batipuh.
Cerita semakin memanas ketika lamaran Zainuddin datang kepada ayah Hayati namun juga ada lamaran lain dari Aziz yang merupakan keluarga bangsawan. Hayati yang terikat adat pun akhirnya terpaksa menikahi Aziz. Mendengar kabar itu membuat Zainuddin sangat terpukul dan depresi. Namun, dengan bantuan dan dorongan Bang Muluk akhirnya Zainuddin mulai menerima kenyataan dan bertekad besar untuk menjadi orang yang sukses agar dirinya tidak direndahkan seperti dahulu kala.
Dikisahkan, akhirnya ia pun berhasil menjadi orang yang sangat terpangang pada masanya. Hal ini dikarenakan Zainuddin telah berhasil menulis buku novel yang pada kala itu menjadi sangat populer dan diterbitkan berkali kali. Sebaliknya, Hayati dan Aziz kala itu sedang berada di tengah bencana karena Aziz yang suka berjudi membuatnya memiliki hutang yang sangat banyak. Alhasil penagih hutang pun datang dan menyita hampir semua properti Aziz dan Hayati. Mereka pun jatuh miskin. Kemudian tanpa disadari Aziz dan Hayati yang kala itu mengikuti perkumpulan orang Sumatera di Jawa tiba-tiba bertemu Zainuddin yang kala itu ternyata merupakan tuan rumah acara tersebut. disitu Aziz meminta bantuan Zainuddin untuk menampung dirinya serta Hayati di rumah Zainuddin untuk sementara. Zainuddin pun mengiyakannya dan memberikan tempat yang layak bagi Aziz dan Hayati di rumahnya.
Setelah menumpang begitu lama Aziz akhirnya menyadari akan kelancangannya. Ia pun depresi dan bunuh diri. Di sini Hayati merasa bahwa dirinya akan menetap di kediaman Zainuddin untuk menjadi pelayan saja. Namun Zainuddin yang kala itu masih dendam karena Hayati yang meninggalkannya, memutuskan untuk memulangkan Hayati ke desa asalnya yaitu Batipuh menggunakan kapal Van Der Wijck. Namun tak diduga kapal tersebut tenggelam dan Hayati meninggal. Hal ini pun membuat hati Zainuddin yang diam-diam menyimpan perasaan pada Hayati menjadi sangat sedih. Zainuddin yang menekan dirinya dengan rasa sedih yang sangat dalam akhirnya mendapatkan stress yang begitu besar. ia pun menjadi sakit sakitan. Dan suatu pagi ditemukan bahwa Zainuddin sudah tak bernyawa di kediamannya sambil menggenggam surat wasiatnya.Â
Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Hamka ini bertemakan cinta dari seorang lelaki yang tak bisa terbalaskan. Walaupun sudah berusaha sedemikian rupa, sang tokoh utama, Zainuddin masih tidak bisa mendapatkan pujaan hatinya yaitu Hayati dikarenakan adanya adat yang membatasi keduanya. Ditambah lagi dengan kehadiran dari tokoh Aziz yang diinginkan Ayah Hayati untuk menjadi menantunya. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan dari Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck berikut.
"Ya, kita habisi saja itu, kata bulatkan sekarang menerima Aziz dan menolak permintaan Zainuddin." (Hamka, 1928, p. 66)
Dilihat dari jalan ceritanya, Novel karya Hamka yang satu ini menggunakan alur campuran. Sebagian besar cerita menggunakan alur maju yang menceritakan Kisah perjalanan hidup dari Zainuddin. Dimulai dengan penceritaan tokoh Zainuddin dan latar belakangnya, bertemunya ia dengan sang pujaan Hati, cintanya yang tertolak, dan berujung dengan dirinya yang sudah kaya tetapi tidak mendapatkan cinta yang diinginkannya. Walau memiliki alur maju yang mendominasi, cerita dalam novel ini memiliki sedikit alur kilas balik. dimana menceritakan orang tua dari Zainuddin, yang dapat ditemukan pada kutipan berikut.
"Seorang anak muda bergelar Pandekar Sutan, kemenakan Datuk Mantari Labih, adalah
Pandekar Sutan kepala waris yang tunggal dari harta peninggalan ibunya, karena dia tak
bersaudara perempuan." (Hamka, 1928, p. 2)
Dalam novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck tidak diberikan keterangan waktu yang begitu jelas. Namun, jika kita melihat perilaku masyarakat dan juga latar sosial yang masih sangat kental dengan budaya Minangkabau dapat diperkirakan bahwa latar waktu dalam cerita Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck adalah pada tahun 1950-an. Dapat dilihat pada penggalan berikut bahwa kota yang awalnya bernama Batavia sudah disebut Jakarta.
"Ditinggalkannya pulau Sumatera, masuk ke tanah Jawa, medan perjuangan penghidupan yang lebih luas. Sesampai di Jakarta, disewanya sebuah rumah kecil di suatu kampung yang sepi, bersama sahabatnya Muluk.'' (Hamka, 1928, p. 91)
Untuk latar tempat, novel ini memiliki latar tempat yang begitu beragam dimulai dari padang panjang yang merupakan tempat tinggal Zainuddin di awal cerita, lalu ia berpindah ke Batipuh yang merupakan tempat tinggal Hayati dan juga merupakan tempat Zainuddin mendalami ilmu Islam. Setelah itu ada latar Jakarta dimana Zainuddin mulai menjadi penulis dan terakhir yang merupakan latar tempat terakhir pada cerita ini adalah Surabaya yang menjadi tempat tinggal Zainuddin hingga akhir hayatnya. Latar suasana pada novel ini juga tak kalah banyak. Namun ada dua latar suasana yang sangat mendominasi cerita yaitu suasana sedih dan suasana tegang. Suasana sedih adalah saat dimana Zainuddin diusir dari batipuh dikarenakan dirinya dirasa tak pantas berada disana dan juga saat Hayati meninggal dimana Zainuddin kemudian menjadi semakin stress. Latar suasana tegang dapat ditemukan pembaca pada saat Hayati harus menentukan antara mengikuti hatinya dan memilih Zainuddin atau memilih kesepakatan adat dan memilin Aziz.
Penokohan dalam cerita Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck sangat beragam. Dimulai dari karakter utama, Zainuddin yang memiliki watak seorang yang sangat ulet dalam belajar berbagai hal dan hebat dalam menulis surat. Tak hanya itu saja, Zainuddin juga merupakan orang yang cerdas dan juga alim atau taat. Lalu adapun Hayati yang memiliki pribadi yang lemah lembut dan penurut. Hayati juga bukan orang yang sombong, walaupun ia adalah bunga desa dan juga anak dari ketua adat Minang tetapi ia tetap mau berteman dengan siapa saja, dan tidak melihat orang dari strata sosialnya saja. Sedangkan Aziz yang merupakan tokoh antagonis digambarkan sebagai orang yang suka berfoya foya dan berjudi. Bagi Aziz uang adalah segalanya. Aziz juga merupakan orang yang kasar, dapat dilihat dari caranya memperlakukan Hayati dalam kutipan berikut.
"Ketika akan meninggalkan rumah itu masih sempat juga Aziz menikamkan kata-kata yang tajam ke sudut hati Hayati ....... sial!"" (Hamka, 1928, p. 107)
Dengan gaya bahasa yang masih sangat kental dengan Bahasa Minangkabau seperti pada kutipan berikut.
"Wa' den labiah tahu dari kalian (saya lebih tahu dari kamu semua)." (Hamka, 1928, p. 65)
Novel ini sangat saya rekomendasikan bagi pembaca yang menggemari cerita romansa dan drama yang dibumbui dengan tradisi lokal dan permasalahan cinta. Novel ini memiliki sudut pandang orang ketiga serba tahu yang memudahkan pembaca mengenal situasi tokoh utama. Tak hanya itu novel ini juga dilengkapi dengan tambahan seperti surat-surat yang dituliskan Zainuddin pada Hayati. Hal ini membuat pembaca seakan betul betul dapat merasakan kisah cinta Zainuddin dan Hayati secara nyata.
Amanat yang dapat kita ambil dari novel ini adalah jangan bermenung terlalu lama pada kesedihan dan belajar untuk menerima keadaan. hal ini dapat dilihat dalam perjalanan cinta Zainuddin yang masih memiliki cinta yang berlebihan kepada Hayati dan tidak bisa melepaskannya. Zainuddin masih mencintai Hayati yang kala itu sudah bersuami, Ia juga tidak bisa melepaskan Hayati bahkan sampai di saat kematian Hayati. Hal ini membuat beban hati dan pikiran yang begitu berat bagi Zainuddin dan membuatnya jatuh dalam stress dan kondisi badan yang memburuk. Disitulah kita diajarkan untuk melepaskan apa yang memang sudah tidak bisa kita miliki.Â
Dari kritik sastra objektif yang membahas mengenai Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck ini dapat kita simpulkan bahwa novel ini memiliki tema cinta dari seorang lelaki yang tak bisa terbalaskan. Novel ini memiliki sudut pandang orang ketiga serba tahu dan juga alur cerita campuran yang didominasi oleh alur maju, tentunya hal ini dilakukan untuk memudahkan pembaca untuk mendalami alur cerita dari Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Cerita ini menggunakan tata bahasa yang sangat kental dengan Minangkabau dan juga memiliki amanat belajar untuk menerima keadaan. Maka itu, karya sastra ini sangat cocok untuk penikmat novel romansa yang memiliki unsur budaya lokal Indonesia seperti Minang. Novel ini juga bisa digunakan untuk bahan literasi dan bahan untuk mendalami cerita lama.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H