Dalam novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck tidak diberikan keterangan waktu yang begitu jelas. Namun, jika kita melihat perilaku masyarakat dan juga latar sosial yang masih sangat kental dengan budaya Minangkabau dapat diperkirakan bahwa latar waktu dalam cerita Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck adalah pada tahun 1950-an. Dapat dilihat pada penggalan berikut bahwa kota yang awalnya bernama Batavia sudah disebut Jakarta.
"Ditinggalkannya pulau Sumatera, masuk ke tanah Jawa, medan perjuangan penghidupan yang lebih luas. Sesampai di Jakarta, disewanya sebuah rumah kecil di suatu kampung yang sepi, bersama sahabatnya Muluk.'' (Hamka, 1928, p. 91)
Untuk latar tempat, novel ini memiliki latar tempat yang begitu beragam dimulai dari padang panjang yang merupakan tempat tinggal Zainuddin di awal cerita, lalu ia berpindah ke Batipuh yang merupakan tempat tinggal Hayati dan juga merupakan tempat Zainuddin mendalami ilmu Islam. Setelah itu ada latar Jakarta dimana Zainuddin mulai menjadi penulis dan terakhir yang merupakan latar tempat terakhir pada cerita ini adalah Surabaya yang menjadi tempat tinggal Zainuddin hingga akhir hayatnya. Latar suasana pada novel ini juga tak kalah banyak. Namun ada dua latar suasana yang sangat mendominasi cerita yaitu suasana sedih dan suasana tegang. Suasana sedih adalah saat dimana Zainuddin diusir dari batipuh dikarenakan dirinya dirasa tak pantas berada disana dan juga saat Hayati meninggal dimana Zainuddin kemudian menjadi semakin stress. Latar suasana tegang dapat ditemukan pembaca pada saat Hayati harus menentukan antara mengikuti hatinya dan memilih Zainuddin atau memilih kesepakatan adat dan memilin Aziz.
Penokohan dalam cerita Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck sangat beragam. Dimulai dari karakter utama, Zainuddin yang memiliki watak seorang yang sangat ulet dalam belajar berbagai hal dan hebat dalam menulis surat. Tak hanya itu saja, Zainuddin juga merupakan orang yang cerdas dan juga alim atau taat. Lalu adapun Hayati yang memiliki pribadi yang lemah lembut dan penurut. Hayati juga bukan orang yang sombong, walaupun ia adalah bunga desa dan juga anak dari ketua adat Minang tetapi ia tetap mau berteman dengan siapa saja, dan tidak melihat orang dari strata sosialnya saja. Sedangkan Aziz yang merupakan tokoh antagonis digambarkan sebagai orang yang suka berfoya foya dan berjudi. Bagi Aziz uang adalah segalanya. Aziz juga merupakan orang yang kasar, dapat dilihat dari caranya memperlakukan Hayati dalam kutipan berikut.
"Ketika akan meninggalkan rumah itu masih sempat juga Aziz menikamkan kata-kata yang tajam ke sudut hati Hayati ....... sial!"" (Hamka, 1928, p. 107)
Dengan gaya bahasa yang masih sangat kental dengan Bahasa Minangkabau seperti pada kutipan berikut.
"Wa' den labiah tahu dari kalian (saya lebih tahu dari kamu semua)." (Hamka, 1928, p. 65)
Novel ini sangat saya rekomendasikan bagi pembaca yang menggemari cerita romansa dan drama yang dibumbui dengan tradisi lokal dan permasalahan cinta. Novel ini memiliki sudut pandang orang ketiga serba tahu yang memudahkan pembaca mengenal situasi tokoh utama. Tak hanya itu novel ini juga dilengkapi dengan tambahan seperti surat-surat yang dituliskan Zainuddin pada Hayati. Hal ini membuat pembaca seakan betul betul dapat merasakan kisah cinta Zainuddin dan Hayati secara nyata.
Amanat yang dapat kita ambil dari novel ini adalah jangan bermenung terlalu lama pada kesedihan dan belajar untuk menerima keadaan. hal ini dapat dilihat dalam perjalanan cinta Zainuddin yang masih memiliki cinta yang berlebihan kepada Hayati dan tidak bisa melepaskannya. Zainuddin masih mencintai Hayati yang kala itu sudah bersuami, Ia juga tidak bisa melepaskan Hayati bahkan sampai di saat kematian Hayati. Hal ini membuat beban hati dan pikiran yang begitu berat bagi Zainuddin dan membuatnya jatuh dalam stress dan kondisi badan yang memburuk. Disitulah kita diajarkan untuk melepaskan apa yang memang sudah tidak bisa kita miliki.Â
Dari kritik sastra objektif yang membahas mengenai Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck ini dapat kita simpulkan bahwa novel ini memiliki tema cinta dari seorang lelaki yang tak bisa terbalaskan. Novel ini memiliki sudut pandang orang ketiga serba tahu dan juga alur cerita campuran yang didominasi oleh alur maju, tentunya hal ini dilakukan untuk memudahkan pembaca untuk mendalami alur cerita dari Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Cerita ini menggunakan tata bahasa yang sangat kental dengan Minangkabau dan juga memiliki amanat belajar untuk menerima keadaan. Maka itu, karya sastra ini sangat cocok untuk penikmat novel romansa yang memiliki unsur budaya lokal Indonesia seperti Minang. Novel ini juga bisa digunakan untuk bahan literasi dan bahan untuk mendalami cerita lama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H