Kalau boleh
lebih baik kupilih dicambuk seribu
daripada tinggal bersama ibu
Kalau bisa
sebelum lahir aku diajak musyawarah
daripada hidup berdarah-darah
Tapi tidak boleh
maka aku hanya terus menoreh
Tapi tidak bisa
maka aku hanya menjalani sehaja
Sekarang aku sudah tidak apa-apa
Sudah tidak menangis maupun tidak terima
Meski tubuhnya masih di depan mata
Beliau sudah mati di hatiku dari lama
"Nanti kau akan menyesal," kata mereka
Kawan, biarkan aku nanti menyesali!
Itulah mata uang untuk sekarang menyelamatkan diri
Kubeli predikat anak durhaka dan manusia keji
untuk nanti kutukar dengan penyesalan sehari
Masih kuteringat doa Ibuku yang kasihnya tak terbatas itu:Â
"Kusumpahi kau tidak kan pernah bahagia!" katanya suatu waktu
Sudah terlambat, batinku
Aku tidak akan pernah bahagia karena Ibuku adalah kamu
Bisa kudengar caci orang lain "anak durhaka!" di kupingku
Namun aku hanya berdiri mematung, terpana dan terpaku
Setengah mengampuni, setengah mengamini doa Ibu.
Membuat epitaph di ujung pangku,
hari itu aku menghadiri pemakaman makna seorang Ibu.
Semoga Tuhan mengabulkan doa Ibu.
Karena Ibu hanya satu.
Karena Ibu sayang selalu.
Karena Ibu tak pernah keliru.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H