Lari adalah sebuah olahraga yang sedang saya gandrungi. Sebelumnya saya banyak mengangkat beban, namun sejak pandemi menutup tempat kebugaran dimana saya berolahraga, saya menggantinya dengan berlari.Â
Salah satu alasan saya suka berlari, tidak seperti mengangkat beban, saya bisa berlari sembari bermeditasi. Berawal dari keinginan saya untuk mengikuti meditasi Pitagoras, meski saya hanya melakukannya satu kali saja, yaitu untuk mengkaji kembali hari-hari yang akan atau telah saya lalui, meditasi ini berkembang menjadi sesuatu yang lebih dalam.
Sore ini ada beberapa pertanyaan muncul dalam benak saya.
Apakah arti dari kebaikan itu?
Apakah kebaikan itu subyektif, obyektif, ataukah keduanya?
Apakah ketika kita melakukan kebaikan, kita melakukannya demi kebaikan itu sendiri ataukah ego kita?
Karena tidak ada kebaikan yang tidak membuat kita bahagia, apakah mungkin bahwa selama ini kita berbuat baik untuk membahagiakan kita sendiri?
Karena semua hal tergantung perspektif dari orang lain. Orang lain akan membuat opini mengenai kita berdasarkan apa yang mereka mau dan bukan berdasarkan apa yang kita perbuat.Â
Seberapapun baiknya kita, kebaikan tersebut akan tetap memiliki sisi yang berbeda bagi tiap orang. Ketika kita berusaha mendamaikan teman yang berkelahi, kita merasa kita adalah penengah yang baik, namun bagi mereka bisa saja kita dalah orang brengsek yang memiliki maksud untuk mendamaikan mereka.Â
Tanpa adanya apresiasi ataupun reaksi, apakah kita akan tetap memilih kebaikan? apabila kita menjawab "tidak", menurut saya adalah wajar. Karena kita adalah manusia yang masih memiliki kemarahan, rasa iri dengki, rasa lelah, dan ego.Â
Tapi bila kita menjawab "ya", maka kita sedang mengikuti prinsip filsuf-filsuf eksistensialis dan stoik seperti Aristotle maupun Marcus Aurelius, dan menurut saya inilah kebaikan yang sesungguhnya. Namun apakah sebagai manusia kita mampu melakukannya?
Ada salah satu cara yang menurut saya dapat menjawab pertanyaan ini. Yaitu ketika kita dihadapkan ke sebuah pilihan untuk menjadi jahat supaya hasilnya baik.
Contohnya? Seorang Ibu yang harus meninggalkan anaknya di panti asuhan, atau ketika kita harus menyakiti orang lain dengan harapan supaya dia menjadi pribadi yang lebih baik.
Lalu, apakah mungkin untuk menjadi jahat terus menerus? Tergantung.Â
Menurut saya berbuat baik itu mahal harganya. Tentu bukan secara harafiah, namun secara metafor. Banyak dari kita memiliki hidup yang sangat beruntung, dimana kita tidak perlu untuk memilih menjadi baik atau jahat.Â
Namun banyak orang di luar sana yang bahkan tidak memiliki kesempatan menjadi baik karena lingkungannya. Anak punk di jalanan yang harus mencuri karena kelaparan atau harus terus menerus mencurigai orang asing karena rentannya dia akan pelecehan seksual, misalnya.
Di sini saya berfikir:
kebaikan yang paling murni adalah bukan ketika kita tetap baik dalam situasi yang jahat, namun ketika kita bersedia menjadi jahat asalkan hasilnya baik.
Karena ketika kita melakukan ini, artinya kita mau mengesampingkan ego kita (untuk dianggap menjadi orang baik) dan secara tulus menjunjung hasil akhir (supaya menjadi baik) terlepas apapun peranan kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H