Ada salah satu cara yang menurut saya dapat menjawab pertanyaan ini. Yaitu ketika kita dihadapkan ke sebuah pilihan untuk menjadi jahat supaya hasilnya baik.
Contohnya? Seorang Ibu yang harus meninggalkan anaknya di panti asuhan, atau ketika kita harus menyakiti orang lain dengan harapan supaya dia menjadi pribadi yang lebih baik.
Lalu, apakah mungkin untuk menjadi jahat terus menerus? Tergantung.Â
Menurut saya berbuat baik itu mahal harganya. Tentu bukan secara harafiah, namun secara metafor. Banyak dari kita memiliki hidup yang sangat beruntung, dimana kita tidak perlu untuk memilih menjadi baik atau jahat.Â
Namun banyak orang di luar sana yang bahkan tidak memiliki kesempatan menjadi baik karena lingkungannya. Anak punk di jalanan yang harus mencuri karena kelaparan atau harus terus menerus mencurigai orang asing karena rentannya dia akan pelecehan seksual, misalnya.
Di sini saya berfikir:
kebaikan yang paling murni adalah bukan ketika kita tetap baik dalam situasi yang jahat, namun ketika kita bersedia menjadi jahat asalkan hasilnya baik.
Karena ketika kita melakukan ini, artinya kita mau mengesampingkan ego kita (untuk dianggap menjadi orang baik) dan secara tulus menjunjung hasil akhir (supaya menjadi baik) terlepas apapun peranan kita.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI