Paparan IR dengan dosis tinggi dapat menyebabkan efek toksik karena kerusakan langsung dan tidak langsung yang melampaui kemampuan sistem pertahanan organisme untuk mendinginkan atau mengatasi kerusakan tersebut. Akibatnya, dapat terjadi perubahan genetik dan epigenetik yang diikuti dengan gangguan homeostasis yang parah dalam metabolisme seluler, yang dampaknya bisa muncul dalam hitungan detik hingga dekade setelah paparan. Sebaliknya, iradiasi dengan dosis rendah dapat memicu berbagai efek radiobiologis yang dikenal sebagai efek non-target.
Kerusakan DNA langsung merupakan efek utama dari iradiasi dosis tinggi, di mana interaksi langsung antara partikel atau kuantum radiasi dengan materi genetik menyebabkan putusnya untai DNA atau mutasi lainnya. Secara teoritis, hanya sel yang terpapar radiasi langsung yang harus mengalami kerusakan DNA tersebut. Namun, sel-sel yang tidak terpapar radiasi dari organisme yang diradiasi juga dapat menunjukkan kerusakan yang serupa, termasuk kerusakan DNA dan produksi ROS. Fenomena ini dikenal sebagai efek non-target radiasi pengion, yang dibagi lagi menjadi efek bystander (penonton) yang diinduksi radiasi (RIBE), ketidakstabilan genom, hipersensitivitas radiasi, efek hormesis radiasi (RHE), radioadaptasi, dan respons transgenerasional.
RIBE terjadi ketika paparan radiasi dosis rendah pada satu sel dapat memengaruhi sel-sel tetangga yang tidak terpapar radiasi. Efek ini dapat diamati pada tingkat organisme, seperti yang terlihat pada tanaman Arabidopsis thaliana (A. thaliana) yang menunjukkan peningkatan frekuensi rekombinasi homolog (HR) pada tanaman yang tidak terpapar radiasi setelah terpapar sinar-X dan iradiasi . Begitu pula, iradiasi partikel pada akar bibit A. thaliana menyebabkan peningkatan frekuensi HR di bagian udara tanaman. Penggunaan pemulung ROS secara signifikan mengurangi efek ini, yang menunjukkan bahwa ROS memainkan peran penting dalam memediasi efek mutagenik pada tanaman. Di tanaman padi, respons terhadap IR teridentifikasi pada daun muda yang diiradiasi yang tidak terpapar radiasi, sebagai bagian dari aklimatisasi sistemik, sementara daun yang lebih tua mencapai status homeostasis baru. Peran ROS dalam RIBE juga terbukti dalam percobaan dengan bibit A. thaliana.
Efek non-target lainnya dari iradiasi adalah hormesis radiasi (RHE), yang menggambarkan hubungan dosis-respons bifasik, di mana dosis rendah IR dapat meningkatkan pertumbuhan, perkembangan, dan toleransi stres tanaman, sedangkan dosis tinggi menghambatnya. Efek hormesis ini telah diamati pada berbagai spesies tanaman dan jenis radiasi, dan dapat terjadi sebagai respons terhadap berbagai faktor stres. Beberapa mekanisme yang mungkin mendasari RHE termasuk aktivasi protein syok panas, proteasom, kaskade kinase, perubahan metabolisme nitrogen, keseimbangan fitohormonal, serta proses perbaikan dan antioksidan. Peningkatan laju pertumbuhan dan perkembangan setelah iradiasi dosis rendah mungkin disebabkan oleh kompensasi berlebih setelah gangguan homeostasis yang disebabkan oleh stres. Secara khusus, perbaikan DNA, perubahan keseimbangan fitohormonal (terutama terkait dengan asam absisat dan asam jasmonat), peningkatan kapasitas antioksidan, serta stimulasi fotosintesis dan akumulasi pigmen, dapat menjadi mekanisme yang mendasari terjadinya RHE. Dalam hal ini, produksi ROS dianggap sebagai faktor utama yang mendasari efek non-target iradiasi.
Ketidakstabilan genom yang disebabkan oleh iradiasi telah tercatat untuk berbagai jenis efek, termasuk aberasi dan mutasi kromosom, yang juga telah dilaporkan pada keturunan sel mamalia atau sel ragi yang diradiasi beberapa generasi setelah paparan awal. Pada tanaman, efek ini tercermin dalam peningkatan frekuensi mikronuklei pada keturunan sel tembakau yang diradiasi , bahkan lebih dari 22 generasi setelah iradiasi.
Secara keseluruhan, sinyal yang terlibat dalam respons langsung terhadap kejadian iradiasi awal (seperti asam jasmonat, asam absisat, dan ROS) dapat memicu efek non-target yang berbeda. Tingkat efek ini tampaknya bergantung pada jenis radiasi, dosis, laju dosis, spesies tanaman, tahap ontogeni, serta faktor-faktor lain yang mempengaruhi respons tanaman. Efek non-target ini bersifat non-spesifik terhadap stresor dan lebih nyata setelah paparan radiasi akut, meskipun juga dapat diamati pada tanaman yang terpapar radiasi kronis di daerah yang terkontaminasi radioaktif. Respons transkripsi terhadap radiasi akut dan kronis sering kali menunjukkan perbedaan yang signifikan, bahkan terkadang bertentangan.
DNA Damage Response to Chronic IR under an Evolutionary Perspective
Kerusakan DNA ada di mana-mana. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, IR dapat secara langsung atau tidak langsung merusak asam nukleat. Meskipun demikian, stres abiotik lainnya seperti kekeringan, salinitas, panas, UV, dan agen kimia juga merupakan sumber yang berpotensi merusak. Akibatnya pemeliharaan kehidupan bergantung pada mekanisme yang efisien yang melindungi integritas informasi genetik.
Kehidupan beradaptasi dengan baik pada tingkat IR yang sangat rendah di permukaan Bumi saat ini, yang berarti bahwa di daerah yang tidak terkontaminasi sumber stres lain lebih relevan bagi organisme hidup, terutama dalam konteks perubahan iklim. Namun tingkat IR (dan UV) sangat berbeda ketika kehidupan muncul di Bumi. Tidak mengherankan, mekanisme yang mengendalikan respons pertahanan terhadap faktor stres primordial seperti kerusakan DNA dan dengan demikian terhadap paparan IR harus sangat dilestarikan di antara Archaea, Bakteri, dan Eukarya.
Dalam konteks evolusi mekanisme pertahanan terhadap radiasi pengion (IR) pada tumbuhan, studi tentang radiosensitivitas dan sistem pertahanan IR pada tumbuhan seperti Lemnaceae akan sangat menarik, mengingat bahwa kelompok ini telah kembali ke lingkungan akuatik setelah kolonisasi daratan. Hingga kini, jalur perbaikan dan kerusakan DNA pada tumbuhan ini belum diteliti secara mendalam. Studi komparatif genomik pada spesies ini juga berpotensi memberikan wawasan mengenai mekanisme yang mendorong kolonisasi daratan. Lebih lanjut, temuan ini dapat memperluas pendekatan dalam konservasi keanekaragaman hayati, karena spesies tumbuhan akuatik tingkat tinggi masih kurang terwakili dalam perlindungan terhadap radiasi.
Adaptasi fungsional dan genomik terhadap paparan radiasi kronis juga relevan bagi kinerja tumbuhan dalam menghadapi peningkatan aktivitas genotoksik akibat ulah manusia. Respons adaptif terhadap IR umumnya melibatkan elemen-elemen dalam jalur respons stres biotik dan abiotik, sehingga radiasi dapat dimanfaatkan sebagai proksi untuk memahami adaptasi terhadap agen genotoksik lainnya, seperti logam berat, radiasi UV-C di lingkungan luar angkasa, dan berbagai bahan kimia. Selain itu, kesamaan yang ditemukan antara profil transkripsi pada tumbuhan yang terpapar IR kronis dan stresor iklim menunjukkan bahwa strategi yang dikembangkan untuk mengatasi IR dapat diaplikasikan untuk meningkatkan ketahanan tumbuhan terhadap berbagai jenis stres, yang relevan untuk mendukung ketahanan pangan dalam menghadapi perubahan iklim.