Kriteria yang muluk-muluk terhadap perempuan masih sering ditemui. Hal ini seolah hanya perempuan yang harus menyesuaikan diri dan laki-laki tinggal menerima sesuai yang diinginkan.
Bahkan terkadang sesama perempuan sendirilah yang membentuk suatu pengkotak-kotakan terhadap perempuan lain. Sebagai contoh kita bisa melihat apa yang dilakukan ibu Ican, di mana ia memberi standar terhadap wanita yang layak untuk buah hatinya yang semuanya adalah laki-laki.
Namun di sisi lain, film ini seolah menyadarkan masyarakat bahwa patokan-patokan yang terbentuk supaya menjadi wanita yang baik tidak semuanya dapat dibenarkan. Sosok Arini yang sebenarnya hanya memenuhi pesanan untuk bersikap sedemikian rupa mengajak masyarakat untuk dapat membuka mata, hati dan pikiran terhadap bias gender yang masih terus terjadi.
Kita tidak akan pernah tahu apa yang dipikirkan orang lain jika kita tidak mau belajar dan berusaha untuk mengenal lebih. Love for Sale 2 ingin mengajak kita untuk sadar bahwa tatanan hierarkis non-formal yang terbentuk dalam masyarakat tidak selalu benar.
Hidup di tengah masyarakat yang setiap pribadinya berbeda membuat kita harus dapat bersikap bijaksana. Untuk itu, perihal baik dan buruk, layak dan tidak layak tentu tidak dapat dipukul rata. Hidup akan lebih indah jika antar manusia bisa belajar untuk mengerti satu sama lain.
Referensi:
Subandi, Z. E., & Sadono, T. P. (2018). Komodifikasi, spasialisasi, dan strukturasi dalam media baru di Indonesia (Ekonomi politik komunikasi Vincent Mosco pada Line Webtoon). In National Conference of Creative Industry.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H