Rasa dendam karena tidak dihormati berujung pada pembunuhan ‘bersih’ yang dilakukan salah satu anak buahnya, dengan cara menghipnotis, sehingga terkesan bahwa Legislatif muda tersebut mati bunuh diri. Walau begitu, Pengkor hanya ingin korbannya meminta maaf dan menyesali perbuatannya.
Adapun adegan lain yang menggambarkan poin ini yaitu ketika Pengkor melakukan segala cara supaya anggotanya dapat masuk ke jajaran legislatif supaya orang-orang di dalamnya nantinya dapat diatur oleh Pengkor.
Pengkor juga tidak segan menyingkirkan orang-orang lain yang tidak menghormatinya. Pembunuhan menjadi cara yang digunakan. Khasusnya pun bisa ditutupi hanya dengan uang.
Pengkor berupaya masuk ke dalam jajaran legislatif dengan menyingkirkan pejabat-pejabat senior, dan berupaya memancing simpati masyarakat. Ambisi untuk dapat menguasai negeri dan membentuk generasi tanpa moral menjadi awal perseteruan Gundala dan Pengkor.
Di samping Pengkor, dalam adegan ditunjukkan pula para legislator yang menghalalkan segala cara untuk dapat menduduki kursi legislatif, cotohnya dapat ditemukan dalam perkataan Ridwan Bahri.
“Saya bukan orang paling suci, saya juga bajingan. Saya pernah menghalalkan segala cara untuk bisa duduk di kursi ini”
Walau tidak keji layaknya Pengkor, Ridwan yang mempunyai perawakan tenang dan bijaksana pun pernah melakukan tindakan tersebut untuk memenuhi ambisi menjadi seorang anggota legislatif. Meskipun begitu, Ridwan ingin membalas tindakan buruknya dengan membantu rakyat.
Terdapat salah satu ucapan Pengkor yang membekas, di kala Sancaka berupaya melawan Pengkor dan anak buahnya sendirian.
“Setiap kekuasaan yang semakin besar, maka duri juga akan semakin besar. Tapi duri bisa dengan cepat dipatahkan. Apa yang paling berbahaya adalah harapan. Harapan bagi rakyat adalah candu, dan candu itu bahaya.”
Bagi Pengkor, orang yang melawan kekuasaan akan dengan mudahnya dihancurkan. Harapan tidak pernah berarti bagi Pengkor, karena harapan rakyat hanya angan-angan yang menyakitkan dan tidak adak dipenuhi pemerintah.