“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”
(UU SISDIKNAS No. 20 Tahun 2003, Bab III pasal 3)
Sekitar akhir bulan Maret 2014 yang lalu, kita dikejutkan dengan hebohnya kasus pencabulan terhadap murid Sekolah Taman Kanak-Kanak di sebuah lembaga pendidikan yang bertaraf Internasional, yaitu Jakarta Internasional School (JIS). Kasus ini mulai terungkap ketika salah seorang wali murid sekolah tersebut melaporkan dugaan pencabulan yang dilakukan cleaning service pada anaknya.
Dalam hal ini, keamanan sekolah menjadi pertanyaan besar bagi kita, mengapa sekolah yang mendeklarasikan diri sebagai zona damai dan aman bagi anak, terlebih lagi yang memiliki taraf keamanan tinggi seperti JIS bisa terjadi hal-hal memalukan seperi ini. Kasus JIS ini mungkin satu dari sekian banyak kasus-kasus yang menimpa pendidikan ditanah air kita, maraknya aksi tawuran, penggunaan obat-obat terlarang, dan kasus-kasus criminal dan asusila lainnya selalu menjadi problem bagi perkembangan pendidikan ditanah air kita tercinta ini.
Hal ini tentu saja menjadi sangat ironis, ketika pendidikan yang berfungsi sebagai sarana untuk mengembangkan kemampuan dan pembentukan watak serta peradaban bangsa yang bermartabat, dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa sesuai dengan pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia, sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang Sisdiknas 2003 seolah hanya sebagai hiasan dan pelengkap peraturan perundangan saja, aplikasi terhadap peraturannya masih sangat kurang.
Jika diperhatikan, memang banyak factor yang menyebabkan rusaknya moral pendidikan di bumi ibu pertiwi ini, pendidikan agama yang diajarkan disekolah-sekolah hanya sebatas teori dan pengetahuan semata, penghayatan dan aplikasinya masih belum maksimal dilaksanakan. Pendidikan karakter yang selama ini selalu digembar-gemborkan hanya sebatas omong kosong belaka, layaknya sebuah peringatan pelarangan rokok dalam bungkus rokok yang digunakan hanya untuk memenuhi syarat legitimasi, ujung-ujungnya hanya akan menjadi piguran yang terabaikan.
Bebasnya media masa di era globalisasi ini juga memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap rusaknya moral bangsa, khususnya bagi para generasi muda yang masih mengenyam pendidikan dan cendrung masih labil. Munculnya adegan-adegan kekerasan serta berbau asusila dalam dunia hiburan, seperti adanya film dan sinetron yang menampilkan adegan-adegan yang cendrung mengarah kepada kerusakan moral, seperti adegan kebebasan pergaulan antara laki-laki dan perempuan, atau adegan pergaulan antara murid dengan guru yang seolah tidak ada batasannya, hingga memungkinkan murid dan guru melupakan status mereka masing-masing dalam bertindak, sekolah lebih digambarkan sebagai tempat pamer dan hiburan semata.
Hal ini tentu saja menimbulkan pengaruh yang negative terutama bagi para remaja yang masih memiliki jiwa peniru yang selalu mengikuti apa yang dilihatnya (Teenagers of life). Sehingga, adanya tindakan-tindakan asusila dan tindakan criminal oleh para remaja di dunia pendidikan menjadi hal yang seolah-olah sudah lumrah untuk disaksikan. Hal seperti ini membuat opini masyarakat menjadi salah, mereka menganggap bahwa tindakan semacam itu merupakan hal yang wajar dalam dunia pendidikan, padahal sebenarnya bukan demikian, sekolah sebagai lembaga pendidikan adalah wahana perbaikan moral dan kepribadian anak, bukan sebaliknya.
Mengutip dari Ki Hajar Dewantara dalam konsep pendidikan yang ditawarkannya melalui lembaga pendidikan Taman Siswa, yaitu konsep Cipta, Rasa, dan Karsa sebagai upaya untuk meraih tujuan pendidikan karakter, yaitu untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan di sekolah, melalui pembentukan karakter peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang, sesuai standar kompetensi lulusan yang telah ditentukan, sepertinya bisa dijadikan sebagai solusi untuk menjawab permasalahan ini.
Dalam hal ini, cipta berhubungan dengan pentingnya pengetahuan atau kemampuan peserta didik dalam menggunakan akal pikirannya, atau lebih dikenal dengan aspek Kognitif. Adapun rasa berhubungan dengan perasaan, emosional, dan pembentukan sikap serta kepribadian peserta didik, seperti terbentuknya rasa simpati, empati, mencintai, membenci, dan lain sebagainya, hal-hal seperti ini selanjutnya lebih dikenal dengan aspek Afektif.
Sedangkan karsa adalah kekuatan berupa adanya penerapan aplikasi, atau pengamalan yang dilakukan peserta didik terhadap apa yang didapatnya ketika menjalani proses pendidikan, aspek inilah yang selanjutnya disebut sebagai aspek Psikomotorik dalam dunia pendidikan. Konsep pendidikan karakter ini tidak bisa dilepaskan dari peranan Trisentra (Tripusat) pendidikan, yaitu: lingkungan keluarga, lingkungan sekolah (perguruan), dan lingkungan alam (masyarakat).
Konsep pendidikan karakter seperti yang ditawarkan oleh Ki Hajar Dewantara memang tidak semudah itu untuk diterapkan secara sempurna, selama ini lembaga-lembaga pendidikan yang berada dibawah naungan pemerintah lebih mengutamakan kepada aspek Cipta (Kognitif) saja, terbukti dengan banyaknya siswa-siswi Indonesia yang berhasil dalam berbagai lomba dan olimpiade, baik yang bertaraf Nasional maupun Internasional.
Sekolah-sekolah cendrung mengabaikan aspek lain seperti Rasa (Afektif) dan Karsa (psikomotorik) yang tidak kalah pentingnya untuk pembentukan masyarakat yang bermartabat, adil, makmur, beriman serta bertakwa sesuai apa yang tertuang dalam UU Sisdiknas no.20 tahun 2003 sebagai landasan dalam sistem pendidikan nasional. Oleh karenanya, pendidikan karakter merupakan salah satu solusi untuk menghadapi perkembangan dunia pendidikan di era globalisasi yang sangat liberal.
Untuk mewujudkan pendidikan karakter, perlu adanya kerjasama dan partisipasi antar semua elemen pelaksana pendidikan yang meliputi pemerintah, sekolah, dan masyarakat dalam upaya pengambilan keputusan, monitoring pelaksanaan pendidikan seperti monitoring evaluasi, serta akuntabilitas aktor dunia pendidikan.
Jika konsep pendidikan karakter ini berhasil diterapkan, maka bisa dipastikan bahwa tindakan-tindakan dehumanisasi yang menghilangkan harkat dan martabat manusia seperti yang banyak terjadi saat ini bisa diminimalisir, dengan begitu tujuan pendidikan sebagai upaya untuk memanusiakan manusia bisa terwujud, bukan hanya sebagai sebuah teori saja, namun bisa terwujud dalam realiata kehidupan dalam bermasyarakat dan bernegara.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI