PT PRIA adalah pabrik pengolahan limbah  B3 yang berdiri di Desa Lakardowo Kabupaten Mojokerto. Pabrik ini berdiri pada tahun 2010 yang telah diatur pada peraturan pemerintah RI nomor 101 tahun 2014 terkait pengelolaan limbah B3 dengan prinsip Reduce, Reuse, dan Recycle. Jenis limbah yang diolah meliputi fly ash, bottom ash, oli, minyak, limbah medis, limbah batubara dan lainnya. Awal tahun 2010, berdiirnya pabrik pengolahna limbah PT. PRIA di desa Lakardowo membawa banyak dampak negatif. Masyarakat Desa Lakardowo pada awalnya tidak mengetahui bahaya limbah B3 terhadap lingkungan dan kesehatan mereka.
Masyarakat ditawari hasil olahan limbah pembakaran batubara sebagai urukan tanah untuk membangun rumah, karena ketidaktahuan mereka mengambil dan membeli bahan tersebut karena harganya yang murah bahkan gratis karena hanya membayar biaya angkut saja. Perusahaan yang menimbun limbah di tanah-tanah desa seperti di jalan, areal kebun, bahkan bahan-bahan seperti tong yang masih berisi limbah B3 yang mudah meledak dibuang begitu saja di area rumah masyarakat. Limbah cair yang dihasilkan pabrik dibuang ke kebun dan dialirkan ke parit. Perusahaan tidak mengolah limbah secara tepat sehingga menyebabkan pencemaran lingkungan yang mengakibatkan gatal-gatal dan gangguan pernafasana (Azmi dkk, 2021).
PT. PRIA juga menyewa lahan milik warga yang berlokasi di tengah persawahan sebagai tempat pembakaran limbah medis pada tahun 2014-2015. Kesepakatan antar kedua pihak terkait pembersihan sisa hasil pembakaran di lahan tersebut nyatanya di langgar oleh perusahaan. Lahan yang sudah habis masa sewanya ditinggalkan begitu saja tanpa pengolahan lebih lanjut. Kondisi lahan tersebut kini bertekstur seperti gel dan terdapat sisa alat medis seperti suntik, infus, popok, dan lainnya yang masih utuh. Limbah medis tidak dikelola dengan baik, karena pihak pengelola tidak memiliki sertifikasi pengelolaan limbah B3.
Penanganan limbah B3 medis seharusnya dilakukan dengan melakukan penyemprotan disenfektan kemudian dihancurkan dengan  insinerator atau gelombang  mikro hingga menjadi debu. Debu atau residu tersebut kemudia dikemas dalam wadah tertutup untuk selanjutnya ditimbun sesuai konstruksi yang telah ditetapkan pada peraturan menteri lingkungan hidup dan kehutanna nomor P.56 tahun 2015 (Suhariono, 2020).
PT. PRIA menawarkan kepada warga untuk menimbun hasil olahan limbah di jalan menuju areal persawahan. Akibat ketidaktahuan warga, mereka menerima tawaran tersebut denga harapan akses jalan lebih mudah. Masyarakat diminta untuk melakukan iuran oleh pihak perusahaan guna pembangunan jalan dengan bahan tambahan semen pada urukan limbah B3, namun fasilitas tersebut tidak diselesaikan oleh PT. PRIA sehingga warga banyak yang menuntut. Tuntutan warga terjadi akibat akumulasi dari berbagai kerugia yang ditimbulkan. Masyarakat yang awalnya tidak mengetahui limbah B3 diberikan osialisasi oleh LSM ECOTON dan LBH Surabaya yang juga turut membantu akses pendidikan dan hukum sebagai bentuk advokasi (Sari, 2017).
Usaha masyarakat dengan didampingi Ecoton terus berlanjut, mereka melakukan pengajuan dengan bukti kuat kepada berbagai lembaga di tingkat desa, kabupaten provisis, KLHK, DPRD, dan sebagainya namun lagi-lagi mereka ditolak dan dipersulit dengan dalih bukti tidak kuat. Pihak PT. PRIA pun tentunya lebih berkuasa.. PT PRIA telah berhasil merekrut aktivis yang awalnya memulai advokasi dengan warga Lakardowo untuk menentang perusahaan, namun karena iming-iming jabatan dan gaji akhirnya aktivis tersebut justru berpihak pada perusahaan. Masyarakat terbagi menjadi pihak pro dan kontra, pihak pro yang mendukung PT PRIA diuntungkan dengan adanya lapnagan pekerjaan, namun disis lain masyarakat kontra sngata dirugikan dnegan adanya pencemaran (Putri, 2017).
Dampak buruk adanya pabrik PT. PRIA diantaranya yaitu kerusakan struktur tanah, pencemaran air tanah akibat buangan dan timbunan limbah, polusi udara akibat asap, Dampak buangan limbah pada areal persawahan juga berdampak pada kualitas tanaman budidaya yakni terlihat tidak segar serta dampak kesehatan serta ekonomi yang ditimbulkan dari pencemaran tersebut. Pencemaran air tanah menyebabkan masyarakat banyak yang terserang pgatal-gatal akibat penggunaannnya untuk fasilitas MCK. Kerugian ekonomi dari masalah tersebut yaitu masyarakat harus membeli air bersih untuk minum, memasak, mandi bagi balita, serta pengeluaran tambahan untuk berobat. Hasil uji laboratorium Dinas Lingkungan Hidup terhadap air tanah di Lakardowo yaitu tidak terkontaminasi limbah B3, perusahaan berdalih munculnya penyakit akibat pola hidup warga. Kenyatananya ketika LSM dan warga mengecek kondisi realita di lapang, tingkat keasmana air tanah sangat tinggi lebih dari 800 ppm..
Data KLHK menunjukkan adanya kontaminasi mangan, sulfat dan CaCO3 pada air tanah Lakardowo, namun Kesimpulan yang dipaparkan KLHK menyatakan bahwa tidak ada pencemaran, sehingga sangat kontradiktif. Hukum lingkungan yang dilanggar oleh PT PRIA seharusnya ditindak dan diusut hingga tuntas bukan malah memperkuat posisi mereka dengan izin perluasna usaha. Penegakan hukum perlu dilakukan mellaui negoisiasi, nasihat, penyelidikan, sanksi hingga pidana yang tercantum pada UU No 32 thaun 2009 tentang pelrindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, adapun pencemaran lingkungan tertuang pada pasal 13 ayat 1 UUPPLH. Kenyatannya sejak tahun 2010 hingga 2021 segala upaya mediasi dan penolakan belum memperoleh hasil yang baik (Effendi, 2020).
Komisi VII DPR RI melakukan rapat dengan KLHK dan PT. PRIA terkiat limbah B3 Lakardowo di Jakarta 08 Desember 2016. Rapat tersebut mmenghasilkan desakan DPR terhadap KLHK untuk melakukan audit lingkungan pada pengolahan limbah PT. PRIA dengan melibatkan warga Lakardowo. Kemudia DPR mendesak PT. PRIA untuk membersihkan tanah limbah timbunan di pemukiman warga. Satu tahu setelah itu tepatnya 12 Mei 2017. Wakil gubernur Jawa Timur memberikan bantuan biaya berobat dan air bersih. Hingga saat ini warga Lakardowo bersama para aktivis luar masih berusaha menuntut permasalahan tersebut. Teknik pengolahan perusahaan harus diperbaiki dan pengelolaan limbah yang sudah terlanjur tersebar di pemukiman harus ditarik kembali. Teknologi bioremediasi untuk mereduksi polutan dengan bantuan biologis akan lebih ramah lingkungan sehingga dapat diterapkan pada pabrik-pabrik pengolah limbah asalakan sesuai prosesdure yang benar (Waluyo, 2018).
Â
KESIMPULAN