"Aku sudah mantap, Pak... Aku bisa jaga diri kok."
Aku yang sedari tadi berdiri dan bersandar di kusen pintu kamar, mengganti posisi. Aku duduk bersila dan menyaksikan betapa kerasnya Si Nomor 1. Dia tak akan mau masuk perguruan tinggi x, mau ditaruh di mana mukanya yang sudah gembar-gembor mengumumkan bahwa dia akan segera menjadi anak ibukota.
Aku tahu, sebenarnya bukan masalah jauh dekat tapi soal duit juga. Bapak memang punya sawah yang luas. Tapi tetap saja mengeluarkan duit segitu  untuk menguliahkan satu orang terbilang cukup besar. Aku optimis bapak akan menawar keputusan Arum. Masih banyak kebutuhan lain, masih ada tiga orang kepala lagi yang masih harus disekolahkan. Tapi aku salah. Bapak tersenyum, berdiri dan menghampiri Arum. Menatap anak pertamanya itu dan mengusap kepalanya. Selesai.
Arum menang.
Di meja makan, ketiga kakakku cekikikan. Aku diam menatap mereka bergantian menatap ibu dan bapak. Â Kemenangan Arum adalah tiket untuk kedua kakakku. Aku yakin itu.
-
Tahun demi tahun berganti yang tersisa hanyalah rumah tempat aku dilahirkan dan besar. Semuanya habis demi menyekolahkan ketiga saudariku. Bapak sebelumnya hanya duduk menghitung kebutuhan pupuk, hasil panen, gaji pekerja, dan penjualan padi kini memanggul cangkul untuk mendapatkan uang demi kebutuhan sehari-hari.
Ibu sudah tak sekuat dulu lagi, kini aku yang menggantikan ibu mengurus rumah. Terkadang  aku tak lagi mengenal Ibu dan Bapak. Wajah letih mereka, tatapan kosong matanya, hasil keringat mereka, semua habis tak bersisa.
Tidak ada yang tersisa untukku.
-
Bapak pulang. Aku mendengar bunyi peralatannya  di depan. Ini masih siang. Bukan jamnya bapak pulang. Aku menyelesaikan cucian piring dan menyambut bapak.