“Maa, kau ini Kartini atau bukan?”
Aku sedang berdandan saat Kinan menanyakan itu. Aku menatap wajahku, pakaianku, dan kemudian jauh ke dalam mataku melalui cermin yang sudah retak. Aku tidak langsung menjawab. Kuraih Kinan ke pangkuanku, kubiarkan dia menatap cermin. Aku berharap dia bisa melihat siapa aku baginya tanpa perlu ada embel-embel Kartini.
“Menurutmu, aku ini siapa?” aku balas bertanya.
Dia berbalik menghadapku, menelusuri alisku, meraba bulu mata palsuku, menekankan telunjuknya di bibirku yang merah menyala, dan menggosokkan ke bibirnya sendiri.
“Kau itu, Maa.”
Senyumku merekah mendengar jawaban Kinan. Mataku berkaca-kaca. Aku memang mengharapkan jawaban itu keluar dari mulut mungilnya.
Kinan turun dari pangkuanku dan duduk di sofa yang busanya sudah mencuat keluar. Dia masih mengamatiku. Matanya yang hitam berpendar, dia masih belum puas. Dia masih ingin bertanya. Aku bisa melihatnya.
“Maa, kemarin itu kelas merayakan hari Kartini dan semua memakai kebaya, kecuali aku.”
Aku membeku. Tak hanya memakai kebaya. Semua anak-anak dirias secantik mungkin oleh ibu mereka. Dipakaikan kebaya, diselipkan sekuntum bunga di telinga yang mungil. Berfoto bersama dan bernyanyi lagi Ibu Kartini. Harusnya aku melakukan itu pada Kinan. Tapi aku tertidur hingga siang dan begitu bangun, Kinan sudah tidak ada. Kinan sudah berangkat memakai seragam merah putihnya.
“Maafkan Maa...” kupandang dalam-dalam mata Kinan. Dia mengangguk pelan.
“Jadi, Bu Nia cerita apa tentang Kartini?” aku membuka obrolan, masih banyak waktu sebelum jam sepuluh.
Kedua mata itu kembali berbinar, “banyak.”
Cuma satu kata. “Lalu?” tanyaku memancing jawaban yang lebih banyak.
Kinan bersemangat dia menepukkan tangannya dan menjawab dengan sangat manis, “Maa, kau itu enggak cuma Maa, tapi juga Kartini. Aku juga enggak Cuma Kinan, tapi aku juga Kartini.”
Kupeluk Kinan erat, Kartini kecilku.
-
Malam ini pengunjung sepi. Tidak ada laki-laki berkantong tebal yang mengajakku duduk di sampingnya, menemani minum, memberikan sedikit atau banyak sentuhan. Aku hanya duduk mendengarkan Roky bercerita tentang perempuan berkerudung merah. Aku menikmati setiap kata dan ekspresi wajahnya. Aku tersenyum. Aku pernah merasakan itu semua. Aku tahu rasanya.
Di penghujung malam, laki-laki yang kupanggil biasa kupanggil beib menelepon dan memintaku untuk menemaninya malam ini. Aku bersiap-siap. Kupoles kembali wajahku hingga merona, kugoreskan lagi lipstick di bibir hitamku. Kutatap kedua mataku dan kulihat di cermin; aku yang sedikitpun tak pantas disebut sebagai Kartini, karena Kartini yang sesungguhnya tidak melakukan apa yang akan kulakukan malam ini dan malam-malam berikutnya untuk mengangkat derajat kaum perempuan. Aku hanya seorang perempuan dan ibu dari Kinan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H