Kedua mata itu kembali berbinar, “banyak.”
Cuma satu kata. “Lalu?” tanyaku memancing jawaban yang lebih banyak.
Kinan bersemangat dia menepukkan tangannya dan menjawab dengan sangat manis, “Maa, kau itu enggak cuma Maa, tapi juga Kartini. Aku juga enggak Cuma Kinan, tapi aku juga Kartini.”
Kupeluk Kinan erat, Kartini kecilku.
-
Malam ini pengunjung sepi. Tidak ada laki-laki berkantong tebal yang mengajakku duduk di sampingnya, menemani minum, memberikan sedikit atau banyak sentuhan. Aku hanya duduk mendengarkan Roky bercerita tentang perempuan berkerudung merah. Aku menikmati setiap kata dan ekspresi wajahnya. Aku tersenyum. Aku pernah merasakan itu semua. Aku tahu rasanya.
Di penghujung malam, laki-laki yang kupanggil biasa kupanggil beib menelepon dan memintaku untuk menemaninya malam ini. Aku bersiap-siap. Kupoles kembali wajahku hingga merona, kugoreskan lagi lipstick di bibir hitamku. Kutatap kedua mataku dan kulihat di cermin; aku yang sedikitpun tak pantas disebut sebagai Kartini, karena Kartini yang sesungguhnya tidak melakukan apa yang akan kulakukan malam ini dan malam-malam berikutnya untuk mengangkat derajat kaum perempuan. Aku hanya seorang perempuan dan ibu dari Kinan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H