Subuh jam tiga, hujan belum reda juga. Ferly menatap kosong langit-langit kamarnya. Lampu tidur yang redup membuat suasana kian temaram dan sendu. Ingatannya selalu kembali ke masa itu. Sekuat apapun dia mencoba melupakan, kenangan itu selalu kembali.
Dia mencoba kembali terlelap dengan merapatkan selimut, mencari posisi nyaman dengan berbaring miring ke kiri, kanan, tengkurap dan terlentang, matanya tetap cemerlang . Dia mengalah. Disingkapkan selimutnya dan kembali memulai aktivitas yang sama setiap kali dia tak bisa tidur.
Ferly menuju kamar Sally, anak semata wayangnya. Pintu terbuka sedikit. Dia membuka pintu dan menatap haru pada wajah yang mengubah dirinya dan keluarganya. Di sebelah kamar Sally, Ibunya tidur dengan lelap. Matanya berkaca-kaca karena kembali mengingat apa yang dia lakukan telah membuat hati ayahnya terluka, menjadi sakit-sakitan dan meninggalkan dia dan ibunya menjalani hidup berdua, hingga Sally lahir.
Ferly menjerang air di teko listrik yang otomatis mati jika air sudah mendidih. Menunggu air mendidih Ferly selonjoran di kursi. Ingatannya kembali bermain-main dengan kenangan dan dia terbawa oleh arus, hingga bunyi klik pada teko listrik tak lagi didengar, matanya perlahan meredup dan dia terlelap.
-
Maya tak bisa berkata apa-apa saat dia kembali menemukan Ferly tertidur di dapur untuk kesekian kalinya. Dia tidak menyalahkan Ferly atas apa yang sudah yang terjadi, pun atas kehadiran Sally yang tak pernah ia sangka menjadi pelipur lara di hatinya. Apapun itu, Ferly memang menyembunyikan sesuatu darinya dan Maya hanya bisa menunggu Ferly menceritakan semuanya.
Ferly mengerang pelan dan terkesiap mendapati Maya yang sedang menatapnya.
“Sudah jam enam, mau dibuatkan sarapan apa?” tanya Maya yang kemudian sibuk mengeluarkan daging beku dari kulkas dan bumbu-bumbu masakan.
“Entar aja, Ma. Nunggu Sally bangun, kita sarapan bareng. Libur ini.” Ferly meletakkan wajahnya di meja. Matanya menatap Maya, bibirnya berkerut menahan isak, dan matanya berkaca-kaca.
Maya menghampiri Ferly, mengusap lembut rambut anak perempuannya itu, menarik kursi persis di samping Ferly dan berkata, “Mama tau, selama ini kamu menyembunyikan sesuatu. Apapun itu, kalau kamu sudah siap menceritakan, Mama akan dengar.”
Ferly menutup wajahnya dengan kedua tangannya. “Ma, tentang Sally... Adit tidak tahu menahu. Aku berbohong saat mengatakan Adit tidak mau bertanggung jawab. Adit tidak tahu sama sekali..."
“Adit nggak tau kamu hamil?” tanya Maya memastikan pernyataan Ferly.
“Dia nggak tau, Ma...” air mata Ferly mulai berjatuhan, “dan karena itu, aku merasa jahat banget, Ma...”
“Kamu ingin memberitahu Adit?” Maya meraih Ferly kepelukannya. Tidak mendengar Ferly menjawab, Maya menambahkan, “Mama, gak kemana-mana kok. Apapun keputusan kamu, cuma Ferly dan Sally yang Mama punya.”
-
Ferly menutup kamarnya dan kembali menatap kotak kecil yang penuh kenangan dia dengan Adit. Dia menarik nafas dalam-dalam sebelum membuka kotak itu. Banyak benda-benda kecil yang remeh tapi penuh kenangan, seperti sobekan kertas kecil yang bertuliskan, “Boleh kenalan?” yang diberikan Adit kepadanya di cafe favorit Ferly. Tiket nonton pertama mereka beserta karcis parkirnya, tapi yang Ferly butuhkan adalah buku kecil yang berisi no telepon Adit. Ferly mengetik dua belas nomor itu dan berpikir puluhan kali untuk menyentuh “Call” di layar HP-nya. Bagaimana aku harus menyapanya setelah bertahun-tahun?
Tidak sengaja jempol Ferly menyentuh tanda“Call” dan langsung terhubung. Bagaimana mungkin Adit tidak mengganti nomornya setelah bertahun-tahun?
“Hei, ” suara pahit, ragu, dan penuh tanya menyapanya.
-
Ferly tiba di cafe tempat mereka pertama bertemu tiga puluh menit dari yang dijanjikan. Dia mengenakan blus biru dan skinny jeans. Rambut panjang ikalnya dibiarkan membingkai wajahnya yang bulat. Dia belum memesan apapun. Dia hanya duduk bertopang dagu, menatap kosong pada buku menu.
Lima tahun yang lalu, jam delapan malam dia bertemu dengan Adit. Pria itu memesan segelas kopi yang murah dan sampai dingin tak disentuh karena mata dan jari-jarinya sibuk menyelesaikan tugas akhir kuliahnya. Sementara itu, Ferly memesan Frappucino yang sudah habis tuntas berikut es batunya. Sebagai pegawai di salah satu perusahaan yang sedang berkembang, pulang malam adalah wajar baginya. Tadinya dia berencana hanya akan memesan minuman, meminumnya sampai habis dan pulang. Tapi semua itu batal saat dia melihat pemandangan yang menyenangkan di depannya; Adit. Ferly menatap Adit begitu lekat sampai pria itu merasa tidak nyaman, lantas berhenti dengan laptopnya dan kembali memandang Ferly. Merasa ditantang, Adit menghampiri Ferly yang tersenyum penuh kemenangan. Sejak saat itu, hingga dua tahun berikutnya. Mereka bersama dalam suka dan duka.
Lonceng berdentang saat pintu cafe terbuka. Jam dua siang pas. Ferly menoleh dan mendapati Adit sudah lebih dahulu menatapnya. Adit mendekati Ferly yang pias dengan wajah merah menahan amarah.
“Puas kamu? Tiga tahun, Fer?! Aku nungguin kamu kayak orang bego, sampai cafe ini tutup. Kamu masalahnya apa sih? Maksudnya apaan?” Adit duduk dengan kasar dan menatap gusar wajah Ferly yang memerah.
“Kamu apa kabar, Dit?” Ferly mencoba meredakan amarah Adit.
“Please, Fer. Jangan basa-basi lagi. Kamu ga tau betapa selama tiga tahun ini aku kayak orang gila. Kamu kenapa?”
“Maafin aku, Dit.” Tak ingin menunda-nunda lagi, mengeluarkan foto Sally dan memberikan kepada Adit.
Adit menatap foto itu tak percaya. “Fer???”
Ferly mengangguk, “Maafin aku, Dit...”
Adit menutup wajahnya dengan kedua tangannya saat air matanya mulai berjatuhan. Kepalanya menggeleng-geleng tak percaya. Dalam isaknya ia bertanya, “Kenapa Fer?”
Ferly menarik nafas dalam mencoba menenangkan diri, “pada saat itu karirmu sedang bagus-bagusnya, kamu juga sedang berusaha menyelesaikan pendidikanmu, ditambah harapan orangtuamu begitu tinggi untukmu, aku enggak ingin merusak semua itu.”
“Kamu jahat, Fer... Aku menjalani tiga tahunku tanpa rasa. Aku kayak robot. Aku tidak bisa menghubungimu. Dan aku nggak tahu kamu sekeluarga pindah kemana. Tapi entah darimana datangnya keyakinan itu kalau suatu saat nanti kamu akan meneleponku, jadi aku tidak mengganti nomor ponselku.”
“Maafin aku, Dit..”
“Aku ingin menemui anakku. “
-
Maya tak heran saat Ferly pulang membawa Adit. Memang sudah seharusnya begitu, demi kebaikan bersama. Adit tak langsung meraih Sally ke pelukannya. Dia melihat Sally dari jauh bermain dengan bonekanya dan mainan yang berserak di sekitarnya. Gadis kecil itu memiliki matanya, selebihnya meniru Ferly.
Adit tak habis pikir bagaimana bisa Ferly bisa menyembunyikan semua itu. Mengandung anaknya sembilan bulan tanpa ada dirinya di samping Ferly. Membesarkan anaknya tanpa figur seorang ayah.
Ferly sedang menyiapkan minuman di dapur saat Adit menghampirinya, mengambil sejumput rambutnya dan berkata, “kamu melakukan semuanya sendirian..”
'Ferly tersenyum, "ada mama yang bantuin aku." Dia meletakkan secangkir teh panas di meja, "diminum, Dit" ujar Ferly mempersilakan Adit.
"Ayo menikah Fer..."
“Kita jalani aja dulu.”
“Aku mau menikah. Aku ga mau kehilangan kamu untuk kedua kalinya.”
^Happy Valentine^
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H