“Puas kamu? Tiga tahun, Fer?! Aku nungguin kamu kayak orang bego, sampai cafe ini tutup. Kamu masalahnya apa sih? Maksudnya apaan?” Adit duduk dengan kasar dan menatap gusar wajah Ferly yang memerah.
“Kamu apa kabar, Dit?” Ferly mencoba meredakan amarah Adit.
“Please, Fer. Jangan basa-basi lagi. Kamu ga tau betapa selama tiga tahun ini aku kayak orang gila. Kamu kenapa?”
“Maafin aku, Dit.” Tak ingin menunda-nunda lagi, mengeluarkan foto Sally dan memberikan kepada Adit.
Adit menatap foto itu tak percaya. “Fer???”
Ferly mengangguk, “Maafin aku, Dit...”
Adit menutup wajahnya dengan kedua tangannya saat air matanya mulai berjatuhan. Kepalanya menggeleng-geleng tak percaya. Dalam isaknya ia bertanya, “Kenapa Fer?”
Ferly menarik nafas dalam mencoba menenangkan diri, “pada saat itu karirmu sedang bagus-bagusnya, kamu juga sedang berusaha menyelesaikan pendidikanmu, ditambah harapan orangtuamu begitu tinggi untukmu, aku enggak ingin merusak semua itu.”
“Kamu jahat, Fer... Aku menjalani tiga tahunku tanpa rasa. Aku kayak robot. Aku tidak bisa menghubungimu. Dan aku nggak tahu kamu sekeluarga pindah kemana. Tapi entah darimana datangnya keyakinan itu kalau suatu saat nanti kamu akan meneleponku, jadi aku tidak mengganti nomor ponselku.”
“Maafin aku, Dit..”
“Aku ingin menemui anakku. “