“Iya Bu…” aku tak bisa melanjutkan apa-apa kata-kata menghilang menghilang begitu saja. Raut wajah perempuan itu melunak, pintu dibukakan lebar dan mempersilakanku untuk masuk.
Semuanya masih sama, seperti yang difoto yang pernah dikirimkan saudara sepupunya untukku diam-diam tanpa sepengetahuannya. Sofa coklat dengan meja kayu. Wallpaper dinding pohon dengan burung-burung yang bertengger di pucuknya.
“Ayo duduk.” Perempuan itu kembali mempersilakan aku dan beringsut ke dapur.
Lidahku kelu. Aku tidak bisa mencegah apapun yang akan terjadi saat ini dan setelah semuanya ini. Pundakku pegal aku melepaskan tas dan menaruhnya di lantai persis dekat kakiku yang seperti akan membeku, begitu juga tanganku.
Perempuan itu kembali membawa satu gelas teh di nampan berwarna hijau, aku menatapnya dalam dan mengucapkan terima kasih. Perempuan itu duduk di depanku, mengamatiku menyesap teh yang masih panas, seharusnya lidahku terbakar, tapi aku merasa baik-baik saja. Kuletakkan gelas di meja dan pandangan kami bertemu. Diam yang canggung. Aku bingung memulai dari mana. Aku bukanlah orang yang diharapkan untuk berkunjung.
“Ibu masih ingat saya?” aku bertanya dan langsung memaki diri sendiri. Pertanyaan tolol. Perempuan itu tahu namaku. Dia ingat.
Perempuan itu tersenyum dan mengangguk. “Kita semua menunggu setelah pertemuan pertama, kapan Irma akan ke rumah.”
Aku tercekat dan kurasakan mataku berair. Aku tidak bisa menemukan kata-kata yang pas untuk itu pernyataan itu. “Abang di mana, Bu?” saat aku menanyakan itu airmataku pun tumpah. Perempuan itu tidak bergeser dari tempat duduknya, dia tidak menyentuhku untuk menenangkanku, tapi tatapannya yang hangat kurasakan memeluk hatiku. Sejujurnya aku ingin bertanya apa yang terjadi setelah keluargaku memaksa untuk tak lagi menemuinya.
Perempuan itu tidak menjawab. Dia memasuki kamar dan kembali dengan membawa album foto. Dia menyerahkan album itu kepadaku tanpa satu katapun. Aku menatap album itu dan air mataku jatuh membasahi keterangan yang terdapat pada pada album itu. Kuletakkan di meja, aku tidak mampu membukanya.
“Bukalah, untuk kebaikanmu…”
Kutatap mata perempuan itu meminta keyakinan. Dia mengangguk. Kuraih album itu, kubuka, dan tak pernah kurasakan perasaan selega ini setelah dua tahun lamanya. Aku bisa merasakan sudut-sudut bibirku tertarik. Aku tersenyum, aku menangis, dan aku lega. Mataku melahap setiap momen yang diabadikan oleh kamera. Menikmati setiap senyumannya. Jemari tanganku menyusuri wajahnya. Aku berbahagia untuknya.