Aku melompat dari angkot dan hampir saja terjatuh. Kumaki diriku dan mengamati perempatan itu. Aku beberapa kali melewati perempatan ini dan gang yang pernah ditunjukkannya padaku tidak jauh dari sini. Dulu. Aku hanya perlu mengingat-ingat seperti apa gang itu dan menyusurinya hingga menemukan rumah yang sesuai dengan deskripsi yang pernah disebutnya.
Aku ke kanan, emosiku masih stabil saat melihat ruko-ruko yang berjejer memperdagangkan beraneka macam barang dan makanan. Perhatianku teralihkan. Aku selalu menikmati saat-saat berada di tempat baru tanpa seorang pun mengenalku. Aku bisa leluasa mengamati mereka dan aku tidak perlu peduli apa yang mereka pikirkan tentang aku. Toh mereka tidak akan bertemu denganku lagi.
Jantungku berdegup keras dan aku tak sanggup melangkah. Gang yang pernah dia tunjukkan, tepat di hadapanku. Aku benar-benar tak sanggup melangkah. Aku hanya berdiri dan kembali memikirkan apa tujuan dari semua ini. Setelah dua tahun kekosongan yang kurasa, aku ingin kembali padanya. Dua tahun toh waktu yang cukup lama untuk membuktikan tak ada yang mampu memikatku selain dia. Dua tahun cukup bagi kedua orangtuaku untuk mengikhlaskan aku dengannya. Sudah sedekat ini dan aku takut.
Tenggorokanku kering padahal matahari sudah melunak. Aku mengambil botol minum dan menenggak isinya tandas. Sudah sedekat ini. Aku tidak boleh kembali dengan tangan kosong. Aku harus menemuinya dan melupakan ketakutanku. Dari ujung gang aku mendengar derap kaki dan tawa berderai anak-anak yang berkejar-kejaran semakin dekat dan terlihatlah wajah-wajah polos itu dengan senyum penuh kebahagiaan.
Aku melangkah sambil memeluk tas di dadaku. Aku perlu meredam detak yang menggila itu. Kembali aku mengingat saat dia mengatakan rumah ke berapa dan cat warna apa. Aku menghitung dan mengamati setiap rumah yang berdiri rapat satu sama lain. Aku belum menemukannya. Aku terus berjalan dan di sanalah rumah itu.
Rumah itu seakan berkata, aku beda tapi aku bagian dari lingkungan ini. Tidak ada pagar. Tembok marmer hitam dengan motif unik dan kusen yang kaya akan ukiran khas Jawa. Beberapa pot bunga kamboja yang tidak berbunga dibariskan di bawah jendela. Itu rumahnya. Tak diragukan lagi.
Kakiku bergetar dan lemah. Aku tidak kuat melangkah tapi aku harus. Ibu-ibu yang bergosip tak jauh dariku berdiri mulai memandangku dengan penuh tanya. Sudah sedekat ini aku harus berani. Kulangkahkan kakiku yang lemah dan serasa tak berdaya mengikuti keinginan hatiku.
Aku mengetuk pintu tiga kali tanpa mengucapkan salam. Tidak ada jawaban atau suara langkah kaki dari dalam. Kuketuk lagi kali ini lebih keras dan aku mendengar suara langkah kaki tergopoh-gopoh. Anak kunci diputar dua kali, klik klik. Pintu terbuka.
Aku bisa merasakan kedua pipiku memerah melihat perempuan itu, ibunya atau yang seharusnya jadi ibu mertuaku. Perempuan itu mengerjap, menatapku dari ujung rambut hingga kaki. Kupastikan dia sudah lupa. Aku pernah bertemu dengan perempuan itu sekali dan hanya sebentar saat aku memaksa untuk ikut ke rumah sakit melihat ayahnya yang sakit. Aku ingat menggenggam erat tangan perempuan itu. Menatap keteduhan wajahnya yang tidak mampu menyembunyikan rasa penasaran terhadap aku, aku siapanya anaknya.
Akubelum mengucapkan sepatah katapun saat perempuan itu menyebut namaku.
“Irma?”