-
Meina menggeser baskom yang berisi petikan bayam dengan kakinya sementara kedua tangannya bergantian membalikkan ikan di penggorengan. Anaknya di ayunan menangis. Suaminya, Panjul tertidur pulas. Dan tadi sempat berteriak dari kamar, “Meina, anakmu nangis!”
Darah Meina mendidih, namun dia tak berdaya. Dia tahu persis kodratnya sebagai perempuan. Dia bersabar dan bersabar. Namun bayang-bayang kelakuan Panjul selama setahun mereka hidup seatap benar-benar diluar dugaannya. Meina dulu berpikir, suami adalah teman hidup. Teman dalam susah dan duka. Teman, untuk saling berbagi beban, bekerja sama untuk tetap bertahan hidup.
Kirana menangis semakin kencang. Meina terpincang-pincang menghampiri anaknya. Air matanya menggenang saat mendapati Panjul masih saja tidur tenang. Meina meraih Kirana, menggendong di punggungnya. Dan kembali terpincang-pincang menuju dapur.
Sebentar, dia berhenti menatap Panjul. Dan dia berpikir tentang cinta. Bagaima jika mereka menikah karena cinta bukan karena hanya ingin bersama setiap hari, akankah kakinya akan baik-baik saja? Memangnya cinta itu seperti apa? Lalu, apakah aku mencintai laki-laki yang tidur seperti mayat ini, sementara anaknya menjerit menangis?
Meina menatap kosong pada ikan yang menghitam di penggorengan, dia lupa mengecilkan api kompor.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI