Panjul, perjaka penjual kayu bakar dari kampung sebelah berhenti di depan warung kopi Meina. Dia mengelap keringat yang mengucur di dahinya. Dia ragu memasuki warung itu, dia mengingat-ingat rupiah yang tersisa di kantongnya yang lusuh. Dia menghitung juga, kalau dia minum kopi di tambah gorengan sebiji, akankah rupiah yang tersisa cukup untuk makan esok hari. Dia masih ragu namun kakinya tetap memasuki warung kopi di depannya. Diletakkannya pantatnya yang tepos ke kursi kayu itu. Matanya mencari-cari palayan warung. Dan matanya bertemu dengan mata Meina yang sudah sedari tadi menunggu dipanggil oleh Panjul, perjaka yang bimbang untuk secangkir kopi dan satu biji gorengan.
Dengan isyarat tangan, Panjul memanggil Meina. Meina tidak hanya mendekat. Meina duduk di depan Panjul, mengamati lekuk-lekuk wajahnya, kemudian ke leher, dada, pundak, lengan, hingga jemarinya yang penuh parut.
“Kopi?” Meina mendesis.
Panjul tersentak oleh wajah indah di depannya, “Yaaa… kopi satu, gorengannya satu.” Dia membenarkan posisi duduknya dan saat Meina mengangguk dan berbalik untuk menyiapkan pesanannya, Panjul menikmati indah lekuk pinggang Meina dan pantatnya yang besar.
Itulah awal dari pertemuan yang Meina anggap sebagai pertanda awal. Hari-hari Meina kini berbeda. Dia kini punya alasan untuk merias wajahnya. Dia kini selalu menanti jam empat sore setiap harinya, perjakanya akan datang memesan kopi dan gorengan ubi sebiji.
-
Tak perlu berlama-lama. Panjul meminta restu Meina untuk bertandang ke rumah bertemu kedua orangtuanya. Meina berbunga-bunga, malam ini juga abang boleh datang, katanya lirih.
Meina memakai batik terusan yang dihadiahkan bapaknya saat ia berulang tahun ke 25. Masih muat. Dia duduk menghadap Bapaknya yang tak ada hentinya mengamati wajahnya. Sedang Ibunya duduk manis melanjutkan sulaman – tak begitu menaruh peduli terhadap apa yang akan terjadi.
“Jadi, pertanda apa yang kau temukan dari si Panjul ini?” Tanya Untung pada Meina yang semakin gelisah dan tak henti-hentinya menatap pada jam di dinding.
“Hee? Pertanda?” Meina menatap bapaknya, menunduk, menatap lagi. Dia terdiam. Dia tidak menemukan tanda apapun pada Panjul yang menandakan kalau Panjul adalah calon suaminya. Pertanda awal di warung kopi? Dia sebenarnya tidak begitu yakin. Tapi dia ingin selalu bersama pemuda berpantat tepos itu sekarang dan esok, dan esoknya lagi, dan esoknya esoknya lagi.
Suara langkah kaki di beranda membuyarkan pikiran Meina. Panjul dan keluarganya datang.