Mohon tunggu...
Conni Aruan
Conni Aruan Mohon Tunggu... Administrasi - Apa ya?

Zombie

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Artikel Utama

Pencuri Air

16 Oktober 2015   13:57 Diperbarui: 16 Oktober 2015   18:02 550
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

-

Ari memandang geram ketiga anak lelakinya. Dia benar-benar tidak menyangka akan mendengar jawaban sebodoh, setakberpendidikan itu dari mulut anaknya, yang sudah disekolahkannya dengan begitu susah payah. Dia mengambil tokai dari atas meja di belakangnya. Ctek! Mulutnya dimonyongkan. Dia menghisap pendek-pendek, lalu panjang, ditahan sebentar, dan gumpalan asap itu bebas merdeka dari mulut dan hidungnya. Fuuuh…

Kedua anaknya tetap menunduk, sedang yang paling bungsu diam-diam mengamati kelakuan bapaknya.

Kriiik… kriiikk… kriikk

Jam menunjuk ke angka sembilan. Di luar gelap semakin pekat, tak ada bulan maupun bintang. Angin juga enggan berhembus. Malam seakan mati.

Ari mematikan rokoknya yang tinggal setengah. Nafasnya tak lagi memburu.

Hantu?! Yang kalian takutkan hantu?” Ari kembali bertanya dengan nada tidak percaya. Ketiga anaknya tetap bungkam. Ari menyisir rambut gondrongnya sambil menarik kursi dengan tanganya yang satu. Dia duduk menghadap ketiga anaknya yang masih menunduk.

“Jadi, siapa diantara kalian yang pernah melihat hantu? Di mana? Kapan? Dan seperti apa penampakannya?” tanya Ari dengan gemas.

Sebenarnya ini tidak hanya sekedar perkara hantu atau penampakannya terhadap ketiga anaknya Ari. Semua ini tentang air di musim kemarau. Air yang terbatas untuk mengairi petakan sawah mereka.  Air yang membantu penyerapan segala nutrisi yang dibutuhkan oleh bibit padi, yang tingginya masih sejengkal tangan orang dewasa. Kalau air tidak dijaga dan dipastikan tetap mengalir, alhasil besok padi-padi itu akan kering dan jika tengah hari air belum juga cukup, demi  hantu yang  ditakuti ketiga anaknya, daun-daun yang hijau itu akan kering seperti kerupuk. Dan, ketiga anaknya menolak untuk menjaga air tetap mengalir, karena sudah malam, dan takut dengan hantu.

Ketiga anaknya masih diam sejuta bahasa ditambah mata mereka yang memerah menahan kantuk.

Jam sepuluh. Mereka masih berhadap-hadapan tanpa solusi.

Ari menyerah. Dia meraih buku tulis dua belas lembar dari meja belajar anaknya.  Dengan gemas memukulkan buku itu ke kepala ketiga anaknya.

“Sana tidur!! Tidak ada hadiah apapun untuk kalian bertiga jika panen tiba.”

-

Jam tiga pagi Ari bangun. Ari membuka kamar anaknya dan mendapati mereka masih pulas di balik selimut. Ya sudahlah, pikirnya.

Ari menumpuk kayu kering di tungku, dengan sedikit minyak tanah dan percikan api. Kayu itu terbakar dan menjilati pantat teko. Ari mencuci wajahnya dan masih dengan wajah yang berair dia menyiapkan kopinya yang selalu kepagian setiap hari.

Cangkul warisan almarhum Bapak dipundaknya menyusuri jalanan yang mulai basah oleh embun. Melati dari Jaya Giri terdengar samar dari siulannya yang terputus-putus.

Ari berdiri menatap hamparan sawah di hadapannya. Dia membuka botol air minum dan menyesap kopi hitam yang tak pernah terlihat hitam. Semua begitu segar, begitu menyejukkan hingga matanya menangkap titik-titik hitam bergerak mencurigakan di petakan sawahnya.

Pencuri air!! Seseorang mencoba main-main denganku!

Ari berlari dan sesekali mengendap-endap sambil tangannya menyiapkan senter.  Tiga! Ada tiga pencuri air! Air memutuskan untuk mengejar yang bertubuh lebih pendek yang hanya berjarak tiga petakan sawah.  Sedikit lagi. Pencuri air bodoh, sama sekali tidak menyadari kehadiranku. Payah!

Ari melompat dan langsung mencengkeram si Pencuri Air. Tidak ada teriakan dari mulut si pencuri. Ari membalikkan badannya dan menyorotkan lampu senter tepat di wajah si pencuri. Ari terkesiap. Wajah si bungsu pias dan badannya menegang karena terkejut.

“Bah! Bima!!” Ari melepaskan cengkeramanya dan menyorotkan lampu senter pada dua sosok hitam yang mendekat.

“Astaga, Bagas dan Byan, ngapain kalian ini?” Tanya Ari sambil meraih ketiga anaknya yang tidak menjawab  dalam pelukannya.  

-

Garis-garis cahaya mulai terlihat di Timur. Air sudah mengaliri setiap petak-petak sawah. Daun-daun hijau padi yang masih mungil  seakan tersenyum. Ari dan ketiga anaknya duduk di saung.

“Yah, panen entar beli sepeda ya?” pinta Bima.

Ari terdiam. Sepeda mahal. Belum lagi permintaan Byan dan Bagas.

“Kalian berdua minta apa?” tanya Ari kepada kedua anaknya.

“Sepeda!” mereka menjawab bersamaan.

“Beli tiga sepeda?” Air memastikan permintaan ketiga anaknya itu.

“Bukan Ayah, satu sepeda untuk bertiga. Kita bisa gantian pakainya.” Jawab Bagas, si sulung. “Iya kan dek?” tanyanya kepada kedua adiknya untuk memastikan.

“Ho oh,” si bungsu menjawab.

“Baiklah…,” jawab Ari sambil selonjor. Matanya menatap penuh harap pada hamparan padi – sumber penghidupannya.

***

Selamat Hari Pangan Sedunia

16 Oktober 2015

 

---

Sumber gambar

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun