Ari menyerah. Dia meraih buku tulis dua belas lembar dari meja belajar anaknya. Dengan gemas memukulkan buku itu ke kepala ketiga anaknya.
“Sana tidur!! Tidak ada hadiah apapun untuk kalian bertiga jika panen tiba.”
-
Jam tiga pagi Ari bangun. Ari membuka kamar anaknya dan mendapati mereka masih pulas di balik selimut. Ya sudahlah, pikirnya.
Ari menumpuk kayu kering di tungku, dengan sedikit minyak tanah dan percikan api. Kayu itu terbakar dan menjilati pantat teko. Ari mencuci wajahnya dan masih dengan wajah yang berair dia menyiapkan kopinya yang selalu kepagian setiap hari.
Cangkul warisan almarhum Bapak dipundaknya menyusuri jalanan yang mulai basah oleh embun. Melati dari Jaya Giri terdengar samar dari siulannya yang terputus-putus.
Ari berdiri menatap hamparan sawah di hadapannya. Dia membuka botol air minum dan menyesap kopi hitam yang tak pernah terlihat hitam. Semua begitu segar, begitu menyejukkan hingga matanya menangkap titik-titik hitam bergerak mencurigakan di petakan sawahnya.
Pencuri air!! Seseorang mencoba main-main denganku!
Ari berlari dan sesekali mengendap-endap sambil tangannya menyiapkan senter. Tiga! Ada tiga pencuri air! Air memutuskan untuk mengejar yang bertubuh lebih pendek yang hanya berjarak tiga petakan sawah. Sedikit lagi. Pencuri air bodoh, sama sekali tidak menyadari kehadiranku. Payah!
Ari melompat dan langsung mencengkeram si Pencuri Air. Tidak ada teriakan dari mulut si pencuri. Ari membalikkan badannya dan menyorotkan lampu senter tepat di wajah si pencuri. Ari terkesiap. Wajah si bungsu pias dan badannya menegang karena terkejut.
“Bah! Bima!!” Ari melepaskan cengkeramanya dan menyorotkan lampu senter pada dua sosok hitam yang mendekat.