Kita berjumpa di lembah Gunung Patah di kaki Dempo dalam hitungan waktu. Sebelum perundagian. Masa berburu. Meramu. Lalu berpindah-pindah mencari tanah baru. Inilah lanskap Besemah yang tumbuh dari memori kebudayaan batu-batu. Di bingkai Bukit Barisan. Kita memahat ribuan batu, meyakinkan bahwa alam adalah puisi yang tak pernah kehilangan ibu.
Di undak batu dan cagak menhir, berulang kau sebut Besemah. Layaknya upacara puisi di atas dolmen. di lading pinggir-pinggir dusun. Berharap ada keterhubungan puisimu dengan nenek moyangmu.
Akulah awal melayu, tumbuh dari liang batu-batu
Besemah, kau kembali menulisnya. Seusai banjir besar itu. Inilah rumah megafauna. Ribuan tahun sebelum puisi itu tiba. Sebelum ritual itu tiba. Sebelum drama dimainkan. Ribuan tahun, sebelum kera-kera besar itu punah. Sebelum mammut dan mastodon punah. Ribuan tahun sebelum gajah diburu. harimau diburu. badak diburu. Ribuan tahun, sebelum puisi itu dilubangi tambang, diratakan kebun-kebun.
Besemah adalah pintu terbuka. selalu tersenyum melepas benua. merangkul kembali, seperti wanua di kaki Dempo, menata batu-batu saling berpelukan. Membentang hingga lautan.
Batu-batu terpahat adalah masa ketika kata-kata dihidupkan, bahasa disumpahkan atas nama keselamatan. Atas nama kemakmuran. Atas nama kedamaian. Atas nama kesehatan. Semua harus setia. Jangan khianat. Akulah Sang Kutuk! tulisnya. Akulah Penyelamat! Akulah Sang Suci! Layaknya dewa yang harus kau sembah.
Titah-titah itu, terus bermunculan dalam riwayatmu. Di lempengan perunggu. Di kulit-kulit kayu yang tersimpan di bubungan rumah. Di lembaran bambu. Di kitab-kitab melebihi kitab suci, hingga hari ini. Semua dituliskan dari mata damar, kayu manis, kapur barus, cengkih, lada. Hingga taring tambang, juga tebasan kebun-kebun hari ini.
Minjam pahat minjam landasan
Minjam mate-pisau landap
Minjam adat dusun-laman
Minjam care kandik berucap
Sepotong tutur menegurku. menyapa tarikh waktu. Mengulanglah atas nama kemakmuran. Atas nama kesejahteraan. Atas nama kebahagiaan. Patuhlah. Patuhlah. Semua bekerja. Semua bekarya. Keterbukaan. Keberagaman. Saling menghargai. “Kita ada dalam pergaulan dunia,” katamu. Semua tamu, harus dimuliakan. Begitulah narasi itu.
Sebelum pulang, kau ajak aku menyusun undakan batu. Membuat replika batu kubur. Melukis bentuk dan warna. Menata cahaya gelap terang. Hitam dan putih.
Di sinilah, puisi itu kau pahatkan, pada prasasti-prasasti harapan. Sebagai kepastian, yang akan membahagiakan tidurku.
-----------------
*) Narasi ini adalah prolog infografis dalam pertunjukan "Ku-Tuk" Teater Potlot pada Festival Teater Sumatera 13 November 2021 di Taman Budaya Sriwijaya Palembang, dan Temu Teater Se-Sumatera 19 November di Taman Budaya Jambi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H