Mohon tunggu...
conie sema
conie sema Mohon Tunggu... Seniman - Pekerja seni di Teater Potlot

CONIE SEMA, lahir di Palembang. Mulai menulis sastra, esai, dan naskah panggung, saat bergabung dengan komunitas Teater Potlot. Karya cerpen, puisi, esai, dan dramanya dipublikasikan media antara lain, Lampung Post, Koran Tempo, Media Indonesia, Majalah Sastra Horison, Sriwijaya Post, Mongabay Indonesia, Berita Pagi, Sumatera Ekspres, Haluan Padang, Majalah Kebudayaan Dinamika, dan Lorong Arkeologi. Puisinya terhimpun dalam antologi bersama: Antologi Rainy Day: A Skyful of Rain (2018), Sebutir Garam diSecangkir Air (2018), Selasa di Pekuburan Ma’la (2019), When The Days Were Raining - Banjarbaru’s Rainy Day Literary Festival (2019). Salah satu naskah dramanya, Rawa Gambut mendapat Anugerah Rawayan Award 2017 oleh Dewan Kesenian Jakarta. Perahu, adalah novel pertama (2009, cetak ulang 2018). Conie Sema bisa dihubungi: Alamat : Jalan Randu No. 13-B, Kemiling, Bandar Lampung. Telp : 0857 6972 3219 WA : 0857 6972 3219 Email : semaconie@gmail.com KTP : 1871132404650002

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ku-Tuk: Rempah dan "Persumpahan" Sriwijaya

21 November 2021   20:59 Diperbarui: 24 November 2021   09:12 217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kita berjumpa di lembah Gunung Patah di kaki Dempo dalam hitungan waktu. Sebelum perundagian. Masa berburu. Meramu. Lalu berpindah-pindah mencari tanah baru. Inilah lanskap Besemah yang tumbuh dari memori kebudayaan batu-batu. Di bingkai Bukit Barisan. Kita memahat ribuan batu, meyakinkan bahwa alam adalah  puisi yang tak pernah kehilangan ibu.

pementasan-teater-potlot-di-jambi-619a4afe9dc0290b1f114b82.jpg
pementasan-teater-potlot-di-jambi-619a4afe9dc0290b1f114b82.jpg

Di undak batu dan cagak menhir, berulang kau sebut Besemah. Layaknya upacara   puisi di atas dolmen. di lading pinggir-pinggir dusun. Berharap ada keterhubungan   puisimu dengan nenek moyangmu.  

Akulah awal melayu, tumbuh dari liang batu-batu 

Besemah, kau kembali menulisnya. Seusai banjir besar itu. Inilah rumah megafauna.   Ribuan tahun sebelum puisi itu tiba. Sebelum ritual itu tiba. Sebelum drama    dimainkan. Ribuan tahun, sebelum kera-kera besar itu punah. Sebelum mammut   dan mastodon punah. Ribuan tahun sebelum gajah diburu. harimau diburu. badak diburu. Ribuan tahun, sebelum puisi itu dilubangi tambang, diratakan kebun-kebun.  

 Besemah adalah pintu terbuka. selalu tersenyum melepas benua. merangkul    kembali, seperti wanua di kaki Dempo, menata batu-batu saling berpelukan.  Membentang hingga lautan.

 Batu-batu terpahat adalah masa ketika kata-kata dihidupkan, bahasa disumpahkan atas nama keselamatan. Atas nama kemakmuran. Atas nama kedamaian. Atas nama kesehatan. Semua harus setia. Jangan khianat. Akulah Sang Kutuk! tulisnya.  Akulah Penyelamat! Akulah Sang Suci! Layaknya dewa yang harus kau sembah.

 Titah-titah itu, terus bermunculan dalam riwayatmu. Di lempengan perunggu. Di   kulit-kulit kayu yang tersimpan di bubungan rumah. Di lembaran bambu. Di kitab-kitab melebihi kitab suci, hingga hari ini. Semua dituliskan dari mata damar, kayu manis, kapur barus, cengkih, lada. Hingga taring tambang, juga tebasan kebun-kebun hari ini.  

 Minjam pahat minjam landasan

Minjam mate-pisau landap

Minjam adat dusun-laman

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun