Mungkin banyak sekali catatan perjalanan karya Filuz Mursalin yang luput dari pengamatan saya. Maklum karena kami tidak satu kota lagi. Selain itu saya mulai aktif berkesenian, baru tahun 2016 lalu. Sejak tahun 1999 saya sudah tidak aktif bekarya. Berikut ini saya coba kutif tulisan tentang profil Filuz dari blog parapapirus (http://parapapirus.blogspot.com/2012/08/mengurai-perjalanan-panjang-filuz.html)
Jiwa seni Filuz Mursalin semasa kecil mulai tampak saat Ia mengurai kreativitasnya dengan membuat alat-alat musik sendiri untuk bernyanyi dan bersenang-senang. Dengan papan seadanya, Ia merakit gitar. Dan dengan ember-ember Ia bereksperimen membuat tetabuhan drum. Ketika kelas lima sekolah dasar, Filuz mencoba bermain alat muik "sungguhan." Gitar menarik minatnya. Seorang teman sekolah berbaik hati mengajarinya bermain gitar. Hari-harinya dihabiskan untuk terus berlatih sembari mendengarkan lagu-lagu favoritnya termasuk "Golden Wing" yang dinyanyikan oleh Karel Simon, dan lagu-lagu milik Koes Plus. Di saat yang hampir sama, Filuz kecil menciptakan sendiri lagunya yang pertama berjudul "Oh Mama, Oh papa."
Tahun 1981, Filuz mencoba mencari penghasilan dengan cara menghibur para pengunjung beberapa rumah makan. Katakanlah, Ia salah satu pelopor dunia perngamenan di Kota Palembang. Berbekal gitar dan harmonika, Filuz menyusuri jalan-jalan di kota Palembang, terutama di kawasan Jalan Veteran.. Pergelutan waktu mempertemukannya dengan hitam putih dunia jalanan. Sempat ia mencoba ganja yang pada akhirnya mempengaruhi kondisi mentalnya dua puluh tahun lamanya. Ia menjadi paranoid. Sebuah perkenalan yang mesti Ia bayar mahal. Banyak kesempatan emas yang gagal diraih. Tahun 1989 kesempatan rekaman di Musica Studio Jakarta atas bantuan Iwan Fals, harus dilepas karena bayang-bayang kematian yang memburunya. Bahkan tawaran dari Ken Zuraida, istri mendiang WS Rendra untuk memimpin kelompok musik binaan beliau, "Kelompok Musik 89" juga tak kesampaian.
Namun di balik sisi kelam itu, Filuz juga berjumpa dengan teman-teman yang berjiwa seni sama dengannya, hingga mulai tertarik dan bergabung dengan teater Kembara. Di Kembara, Filuz tetap pada talentanya sebagai pemusik. Ia mengiringi lajur teater dengan petikan-petikan gitarnya. Prestasi gemilang diraihnya saat di tahun 1982, Ia dan teman-teman memenangi musik terbaik festival teater "Sebambangan", sebagai juara pertama. Rekam jejak Filuz semakin matang, Ia berkesempatan pentas bersama WS. Rendra di Bengkulu. Lalu tahun 1995, Ia menyumbang sebuah lagu "Cerita Cinta" di album band rock kota Palembang, Steel Warrior, dan pada tahun 1996 ia berkesempatan berkolaborasi dengan penyanyi religius, Opick di Bella Studio Jakarta.
19 Mei 2008, Filuz mendirikan sebuah band bernama Ponjen, bersama teman-teman di studio Bayangan Semesta Alam, di Jalan Talang Ratu, Palembang. Dan meski dikenal oleh banyak orang berkat karyanya bersama Conie Sema pada lagu berjudul "Yakwa" yang sempat populer di kalangan warga kota Palembang dan sekitarnya pada tahun 2003 dan 2004, Filuz tetap ingin hidup mandiri dan sederhana. "Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, saya beternak ayam kampung di rumah," ujar Filuz. "Saya tidak ingin mencari uang dalam berkesenian."
Kini, pria lajang ini telah membangun Komunitas Gudang Seni di rumahnya di bilangan Sekojo, Palembang, yang berkonsentrasi pada musik tradisional Batanghari Sembilan. Tanggal 14 Desember 2010 lalu, Dewan Kesenian Sumatera Selatan memberikan anugerah seni dengan tajuk Anugerah Batanghari Sembilan kategori musik. Dan terakhir, Ia diminta oleh Iwan Fals untuk memberi sebuah karyanya berjudul "Semua Ada Kesudahan."
Sungguh, sebuah proses menuju pencapaian yang luar biasa.
conie sema, 12/02/2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H