Aku memeluknya, lalu berkata pelan di dekat telinganya "telpon gue ya."
   Lalu Diffin tertawa "bukannya elo ya yang mesti telpon gue?"
   Aku ikut tertawa "enggak ahh.. gue maunya elo yang nelpon. Mau nggak lo? Ntar nggak gue kirimin postcard lho."
   Diffin hanya tertawa dan mengangguk-ngangguk. Aku senang melihatnya begitu, mengingat tawanya tadi, masih dengan luka di kepalanya yang belum mengering yang masih dibalut perban, membuatku tersenyum tak percaya sampai sekarang ini. Hebat banget dia.
   Dan kemudian sebuah lagu yang diputar di radio membuatku berhenti mengingat tingkah Diffin tadi, dari alunan liriknya aku ingat pernah mendengar ayahku menyenandungkan lagu itu ketika ia membuat kopi pagi-pagi di dapur, kali ini kudengar lagunya dengan serius, dan kusimak liriknya kata demi kata.
   Aku langsung mengambil smartphoneku dari tas ransel, mencoba menghubungi Papa, dan aku lega saat telponku langsung terjawab.
   "Pa, it's mom, right?" tanyaku langsung tanpa basa-basi.
   "What?" tanyanya balik, tak mengerti.
   "Papa tetap buktiin kalau Papa sayang sama dia, bahkan saat dia udah nggak ada. She is mom, right?"
   Ayahku tidak langsung menjawabnya, hanya desah napasnya yang kudengar.
   "Pa, how much do you love her?"