Mohon tunggu...
Mario Santoso
Mario Santoso Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Verena

8 September 2015   18:27 Diperbarui: 12 September 2015   19:55 185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Aku bahkan belum tahu namanya, tetapi cinta sudah menusuk hatiku saat melihat gadis itu.

Gadis yang sangat cantik, matanya fokus dan tajam ketika pandangannya bertemu denganku. Bibirnya merah secara natural, tidak tersenyum, tapi pastilah sangat indah jika ia mau memberi secercah dari keindahan itu. Tampaknya ia masih asing dengan semua situasi baru ini, sama sepertiku. Ia memegang beberapa helai rambut hitam panjangnya dan menutupi wajanhnya dengan itu, entah malu atau iseng penyebabnya melakukan hal itu. Aku duduk di seberangnya dalam ruang kelas yang disusun dengan bangku melingkar. Banyak anak-anak baru juga yang akan menjadi calon teman berkuliah nanti, tapi sosok gadis itu sunggulah ingin aku sapa dan kukenal lebih jauh.

Seharusnya di saat pengenalan kampus ini kami diwajibkan memakai name tag berisikan nama kami. Kartu kecil bertuliskan nama sudah tergantung di saku bajuku, beberapa teman pria sudah mulai bertukar sapa dan nama denganku. Tapi jarak 24 ubin di antara aku dan gadis itu membuat perasaanku tergelitik dan dipenuhi rasa penasaran. Ingin sekali rasanya aku berjalan menghampiri dan memberikan salam perkenalanku di hadapannya sambil berkata, “Hai, boleh berkenalan? Namaku Mike, siapa namamu?” Tapi berucap seperti itu sangat mengundang cacian dari orang lain, “Wei! Jangan PDKT dulu! Baru masuk kuliah!”

Datanglah sang kakak senior pembimbing kelompokku. Setelah mengetahui nama, wujud fisik, dan angkatan di mana kakak itu berada, pandanganku kembali tertuju pada gadis misterius itu. Aku memperhatikan saat tangannya merogoh tas dan mencari sesuatu. Akhirnya aku melihat nama gadis itu saat ia memasang name tag di saku bajunya, Verena.

Sepertinya karena hukum alam yang menyatakan kalau, ‘manusia yang tidak pernah puas’ terlalu melekat di diriku, mengetahui namanya saja tidak cukup. Mengetahui nama itu seakan hanya seperti melihat jeruk yang dijual di gerobak-gerobak pasar, tanpa sempat merasakan manis atau asam isinya. Dengan menggunakan pandangan semata, aku menerka-nerka orang seperti apa gadis itu. Apakah ia seorang yang ramah, atau ia justru seorang yang dingin seperti es? Apakah ia merawat segala keindahan di tubuhnya itu, atau semuanya adalah produk alami? Rambut hitam yang sangat mengkilap, bahkan seorang artis iklan shampo pun tidak dapat memikatku seperti yang dia lakukan secara tidak sengaja sekarang. Apakah ia seorang yang berusaha menjadi model, tubuhnya yang ramping seakan dijaga dengan diet ketat rutin ala ahli gizi. Atau mungkin ia adalah seorang yang gemar membaca novel, kacamata dengan lensa persegi dengan frame hitam menjadi bingkai dari mata bulat nan indah miliknya. Bahkan aku berusaha menerka, apakah ia kaya atau berasal dari keluarga sederhana? Pakaiannya adalah sebuah kemeja dengan motif lipatan-lipatan yang memberi sedikit kesan ‘berisi’, celana hitam bahan dengan sepatu ceper biru langit dengan motif doodle. Tidak bisa aku lihat merk dari tasnya, padahal itu adalah informasi utama untuk mengetahui apakah uang sakuku nanti akan mencukupi biaya kencan kami kelak... baiklah itu agak berlebihan.

Entah apa yang membuat gadis itu sangat menonjol, aku sendiri sebenarnya bingung. Ada beberapa gadis lain yang juga cantik dan imut, tapi aku tidak dapat memandang mereka lama karena teralihkan oleh Verena. Ini hari pertama perkenalan kampus, dan pandanganku sudah terkunci ke satu orang.

Tidak disadari kakak pembimbing berdehem meminta perhatian kami yang sedang sibuk sendiri. “Baiklah, sekarang kita mulai perkenalannya yah. Supaya lebih akrab, kakak minta satu per satu kalian maju dan memperkenalkan diri secara singkat. Nama, fakultas dan hobi.” Dan ketika sang kakak pemimpin kelas menunjuk salah satu dari kami, terpilihlah gadis itu sebagai orang pertama yang harus memperkenalkan diri. Sepertinya pesona Verena, sang gadis misterius itu terpancar juga ke mata sang senior berambut cepak cenderung jabrik itu.

Ia melangkah perlahan ke tengah kelas. Ia tidak langsung berbicara, tetapi ia memberikan sebuah senyum singkat saat ia mengangkat kepalanya menghadap kami semua, “Halo, nama saya Verena. Saya dari jurusan psikologi dan hobi saya adalah... menonton film.” Kalimat singkat yang sempat agak menggantung itu diakhiri dengan anggukan ringan yang juga disertai dengan senyum. Tepukan tangan dari kami satu kelas mengiringi saat dia kembali ke kursinya. Dan saat itulah aku menyadari mata dari para pria di kelasku juga tertuju ke arah Verena.

Mungkin memang secara alamiah bahwa persaingan untuk mendapatkan pasangan yang unggul itu akan terjadi di antara para pejantan. Beruntunglah Verena masih dikelilingi oleh beberapa teman perempuannya, sepertinya hal itu dapat menangkal para pria di kelasku untuk mendekatinya. Aku tidak naif, menjadi temannya Verena adalah hal yang aku inginkan, atau jika beruntung dapat menjadi pacarnya dalam beberapa bulan ke depan. Secara tidak sadar, setelah Verena maju, ruang kelas itu telah menjadi medan perang dingin para pria yang juga menyukainya. Mengaguminya saja tidak cukup sekarang, aku perlu berani berbicara dan mulai menjalin komunikasi. Sekarang aku hanya bisa berharap kepada sel-sel di otakku untuk mendapatkan bahan pembicaraan dan semoga hatiku memiliki keberanian untuk bertatapan dengannya dari dekat.

“Mike Setiawan... Mike Setiawan!”
“Ah iya saya!” ujarku kaget terlepas dari lamunan. Dan di depan sudah menunggu kakak senior yang menyuruhku untuk memperkenalkan diri.

Dan ketika waktu istirahat tiba, kami semua mulai berbaur berpindah tempat duduk dan mendekati teman baru. Aku mendekati beberapa pria yang kelak akan satu jurusanku nanti, Verena pun melakukan hal yang sama bersama teman-teman perempuannya yang kelak akan menjadi calon psikolog unggul. Sungguh di luar dugaan, Aku dan Verena akhirnya dapat duduk bersebelahan! Karakter verena yang pendiam tampaknya membuat dia masih senggan untuk berkumpul di lingkaran dalam grup itu, ia masih duduk di sisi luar, tepat bersebelahan denganku.

Jantungku mulai berdetak dengan irama cepat, hampir-hampir detaknya dapat aku dengar. Entah perasaan apa yang membuatku segugup ini. Kami belum saling mengenal, dan jika kami tidak mulai berbicara, apa yang akan terjadi nantinya? Kami akan dipisahkan oleh jadwal kelas yang berbeda, lebih parahnya, ia bahkan bisa saja tidak mengenalku sama sekali!
Tapi kali ini saja, aku berbuat nekat aku membuka bibirku dan menyapanya, “Hai...”

Ia menengok ke arahku, ingin mati rasanya! Aku segera menyambung pertanyaanku, “Jurusan apa?”

“Oh, aku jurusan psikologi.” ujarnya, “kamu namanya siapa yah?”

“Mike Setiawan.” Aku menjawab cepat, sepertinya ia belum sempat melirik name tag-ku.

“Oh, yang tadi bengong itu yah?” dia tersenyum kecil saat mendengar namaku, “Maaf yah aku masih belum hafal banyak orang.”

“Iya sama, kamu tadi namanya...” aku pura-pura lupa sambil melirik identitasnya.

“Verena.” Jawabnya singkat. Aku mengangguk ketika ia menyebut namanya lalu menjulurkan tangan, memberi salamperkenalan. Tangannya sangat halus, mungkin ia adalah orang kaya yang selalu memakai pembantu untuk mengurus pekerjaan rumah. Mungkin agak kontras dengan tanganku yang kasar karena sering membantu orang tua mengangkat galon air untuk dispenser.

“Kamu dari sekolah mana?” Verena bertanya di sela-sela menyuap roti sobek di tangannya.

“Dari SMA Terang Jakarta, kalau kamu?”

“Dari SMA Bandung jaya.”

“Kau dari Bandung?” tanyaku agak kaget, “tinggal di mana selama di Jakarta?”

Ia mengangguk, “Bareng sama keluarga paman yang tinggal di Jakarta. Habis orang tuaku gak ngasih kost, tidak aman katanya.”
Aku mengangguk, pantas lah jika orang tuanya khawatir jika anak sepertinya harus nge-kost sendiri menghadapi masyarakat buas di Jakarta. Mengingat ia orang baru di Jakarta, ada pertanyaan yang mengelitik untuk aku tanyakan, “Betah gak di Jakarta? Dengan segala kemacetan dan polusinya?”

Verena berpikir sejenak, mungkin memutar memorinya mengenai Bandung dulu, “Yah sebenarnya sih tidak beda jauh, cuma memang Jakarta lebih macet sih daripada Bandung. Dan aku agak kangen makan cilok, di Jakarta jarang.”

“Tenang jakarta itu gudang makanan enak kok. Aku sering lihat kok ada tukang cilok di dekat rumahku.”

“Ih... mauuu” jawabnya dengan nada gemas. Aku sungguh tidak menduga hal itu. Tapi tingkahnya yang tiba-tiba itu membuatku tidak bisa menahan gelak tawa. Untunglah aku berani untuk menyapanya tadi, jika tidak aku tidak bisa mendapat momen membahagiakan tadi.

Selama jam istirahat itu kami membicarakan banyak hal, mulai dari bagaimana suka-duka di sekolah kami dulu sampai membicarakan anjing peliharaan Verena. Topik-topik itu mengalir begitu saja, Verena adalah sosok yang terbuka jika kau sudah mengenalnya. Mungkin beberapa orang lain di kelas itu sudah memperhatikanku dengan tatapan tajam, tapi aku berusaha untuk tidak menghiraukannya. Aku sedang menikmati momen ini. Alangkah membahagiakannya jika pembicaraan kami bisa berlanjut, sayangnya istirahat 30 menit berlalu dengan terlalu cepat. Dan di akhir pembicaraan, kami saling bertukar kontak satu sama lain.

Setelah dua permainan kelompok, satu sesi sharing besar,dan 15 menit tambahan waktu untuk istirahat dan ke kamar kecil, pertemuan hari itu berakhir. Jam menunjukan pukul lima sore. Aku dan Verena berbaris bersebelahan melanjutkan pembicaraan kami tadi yang terhenti. Sepanjang jalan menuju gerbang kampus, kami membicarakan tentang bagaimana kesenangannya terhadap dunia psikologi beserta keinginannya untuk menjadi seorang konsultan atau psikolog. Menurutnya yang membuat semua masalah pemikiran itu menarik adalah: semua itu adalah hal yang terjadi di pikiran kita sendiri, tapi tidak ada kesadaran yang mengolah perasaan dan sifat psikis kita secara spesifik sampai orang lain datang dan membedah pemikiran kita, itulah kehebatan seorang ahli psikologi.

Kami sampai di gebang itu, sungguh tidak ingin untuk berpisah tapi hal itu terjadi. Aku duduk di halte, menunggu bis umum menjemputku. Di antara lautan para mahasiswa baru yang berpakaian putih, aku masih dapat melihat Verena. Rambut hitam panjangnya, lalu senyumannya, semua masih bisa di lihat dari kejauhan. Ia tersenyum dan tertawa-tawa, orang-orang yang berada di jalur pandangku seakan menyingkir dan membuka jalan untuk menunjukan sesuatu. Seorang pria berkemeja putih yang mendampingi Verena. Ia memakai seragam sepertiku, tangannya menggandeng Verena erat dan mereka tertawa bersama. Dan beberapa saat kemudian, mereka menghilang ditelan lautan orang.

Aku baru mengenal namanya, Verena, tetapi cinta sudah menusuk hatiku saat melihat gadis itu.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun