Jantungku mulai berdetak dengan irama cepat, hampir-hampir detaknya dapat aku dengar. Entah perasaan apa yang membuatku segugup ini. Kami belum saling mengenal, dan jika kami tidak mulai berbicara, apa yang akan terjadi nantinya? Kami akan dipisahkan oleh jadwal kelas yang berbeda, lebih parahnya, ia bahkan bisa saja tidak mengenalku sama sekali!
Tapi kali ini saja, aku berbuat nekat aku membuka bibirku dan menyapanya, “Hai...”
Ia menengok ke arahku, ingin mati rasanya! Aku segera menyambung pertanyaanku, “Jurusan apa?”
“Oh, aku jurusan psikologi.” ujarnya, “kamu namanya siapa yah?”
“Mike Setiawan.” Aku menjawab cepat, sepertinya ia belum sempat melirik name tag-ku.
“Oh, yang tadi bengong itu yah?” dia tersenyum kecil saat mendengar namaku, “Maaf yah aku masih belum hafal banyak orang.”
“Iya sama, kamu tadi namanya...” aku pura-pura lupa sambil melirik identitasnya.
“Verena.” Jawabnya singkat. Aku mengangguk ketika ia menyebut namanya lalu menjulurkan tangan, memberi salamperkenalan. Tangannya sangat halus, mungkin ia adalah orang kaya yang selalu memakai pembantu untuk mengurus pekerjaan rumah. Mungkin agak kontras dengan tanganku yang kasar karena sering membantu orang tua mengangkat galon air untuk dispenser.
“Kamu dari sekolah mana?” Verena bertanya di sela-sela menyuap roti sobek di tangannya.
“Dari SMA Terang Jakarta, kalau kamu?”
“Dari SMA Bandung jaya.”
“Kau dari Bandung?” tanyaku agak kaget, “tinggal di mana selama di Jakarta?”