Mohon tunggu...
Mario Santoso
Mario Santoso Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Verena

8 September 2015   18:27 Diperbarui: 12 September 2015   19:55 185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ia mengangguk, “Bareng sama keluarga paman yang tinggal di Jakarta. Habis orang tuaku gak ngasih kost, tidak aman katanya.”
Aku mengangguk, pantas lah jika orang tuanya khawatir jika anak sepertinya harus nge-kost sendiri menghadapi masyarakat buas di Jakarta. Mengingat ia orang baru di Jakarta, ada pertanyaan yang mengelitik untuk aku tanyakan, “Betah gak di Jakarta? Dengan segala kemacetan dan polusinya?”

Verena berpikir sejenak, mungkin memutar memorinya mengenai Bandung dulu, “Yah sebenarnya sih tidak beda jauh, cuma memang Jakarta lebih macet sih daripada Bandung. Dan aku agak kangen makan cilok, di Jakarta jarang.”

“Tenang jakarta itu gudang makanan enak kok. Aku sering lihat kok ada tukang cilok di dekat rumahku.”

“Ih... mauuu” jawabnya dengan nada gemas. Aku sungguh tidak menduga hal itu. Tapi tingkahnya yang tiba-tiba itu membuatku tidak bisa menahan gelak tawa. Untunglah aku berani untuk menyapanya tadi, jika tidak aku tidak bisa mendapat momen membahagiakan tadi.

Selama jam istirahat itu kami membicarakan banyak hal, mulai dari bagaimana suka-duka di sekolah kami dulu sampai membicarakan anjing peliharaan Verena. Topik-topik itu mengalir begitu saja, Verena adalah sosok yang terbuka jika kau sudah mengenalnya. Mungkin beberapa orang lain di kelas itu sudah memperhatikanku dengan tatapan tajam, tapi aku berusaha untuk tidak menghiraukannya. Aku sedang menikmati momen ini. Alangkah membahagiakannya jika pembicaraan kami bisa berlanjut, sayangnya istirahat 30 menit berlalu dengan terlalu cepat. Dan di akhir pembicaraan, kami saling bertukar kontak satu sama lain.

Setelah dua permainan kelompok, satu sesi sharing besar,dan 15 menit tambahan waktu untuk istirahat dan ke kamar kecil, pertemuan hari itu berakhir. Jam menunjukan pukul lima sore. Aku dan Verena berbaris bersebelahan melanjutkan pembicaraan kami tadi yang terhenti. Sepanjang jalan menuju gerbang kampus, kami membicarakan tentang bagaimana kesenangannya terhadap dunia psikologi beserta keinginannya untuk menjadi seorang konsultan atau psikolog. Menurutnya yang membuat semua masalah pemikiran itu menarik adalah: semua itu adalah hal yang terjadi di pikiran kita sendiri, tapi tidak ada kesadaran yang mengolah perasaan dan sifat psikis kita secara spesifik sampai orang lain datang dan membedah pemikiran kita, itulah kehebatan seorang ahli psikologi.

Kami sampai di gebang itu, sungguh tidak ingin untuk berpisah tapi hal itu terjadi. Aku duduk di halte, menunggu bis umum menjemputku. Di antara lautan para mahasiswa baru yang berpakaian putih, aku masih dapat melihat Verena. Rambut hitam panjangnya, lalu senyumannya, semua masih bisa di lihat dari kejauhan. Ia tersenyum dan tertawa-tawa, orang-orang yang berada di jalur pandangku seakan menyingkir dan membuka jalan untuk menunjukan sesuatu. Seorang pria berkemeja putih yang mendampingi Verena. Ia memakai seragam sepertiku, tangannya menggandeng Verena erat dan mereka tertawa bersama. Dan beberapa saat kemudian, mereka menghilang ditelan lautan orang.

Aku baru mengenal namanya, Verena, tetapi cinta sudah menusuk hatiku saat melihat gadis itu.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun