Mohon tunggu...
Muhamad Karim
Muhamad Karim Mohon Tunggu... Dosen - Saya seorang Akademisi

Bidang Keahlian saya Kelautan dan perikanan, ekologi, ekonomi politik sumber daya alam.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Gurita Ekspor Benih Lobster

14 Juli 2020   08:14 Diperbarui: 14 Juli 2020   08:20 307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Tatkala membaca laporan utama Majalah Tempo edisi 6-12 Juli 2020 soal ekspor benih lobster sungguh mencengangkan. Ternyata dibalik legalisasi ekspornya melibatkan berbagai aktor politik, korporasi dan aparat negara. Laporan ini pastinya memerahkan kuping pihak-pihak yang tercatut namanya.

Apakah reaksi mereka pasca keluarnya pemberitaan ini? Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (PermenKP) No 12/2020 yang melegalisasi ekspor benih lobster berpotensi memicu polemik baru.

Kalau masalah bisnisnya begini, sudah masuk ranah ekonomi politik. Bisnis ekspor benih lobster tak murni lagi bisnis semata. Melainkan sudah berkelindan dengan kepentingan politik. Mengapa demikian?

Menggiurkan

Bisnis ekspor benih lobster amat menggiurkan di pasar internasional terutama Vietnam. Riset Petersen et al (2015) mencatat harga rata-rata benih per ekornya di Vietnan USD 13 per ekor. Di Teluk Ekas dan Telong Elong/Gili Belik NTB hargan harga di tingkat nelayan dan pengepul USD 0,43 dan USD 0,95. Harga rata-rata di Vietnam USD 13. Selisih harga rata-ratanya USD 12.57 (2,923 %)  dan USD 12,05 (1,268 %). 

Keuntungan yang diperoleh amatlah fantastis. Bila diasumsikan suatu perusahaan mendapatkan jatah kuota ekspor ke Vietnam 10 ribu ekor, bakal ia meraup keuntungan rata-rata USD 120 ribu hingga USD 125 ribu sekali mengekspor. Bisnis ini memang amat menggiurkan. Makanya tak perlu heran jika politisi, elit yang dekat kekuasaan berkolaborasi dengan pengusaha buat memuluskan bisnis ini.

Dalam literature ekonomi politik modus bisnis begini disebut kompradorisasi. Siapa saja kompradornya? Mereka adalah kalangan elit yang dekat penguasa, politisi, hingga aparat negara. Mereka bukan pelaku utamanya. Mereka hanyalah membeking dan memuluskan lahirnya kebijakan bisnisnya. Bila perlu menekan pengambil kebijakan supaya prosesnya cepat.

Apakah dalam kasus legalisasi ekspor benih lobster telah melibatkan kaum komprador? Mencermati laporan utama Majalah Tempo edisi 6-12 Juli 2020 memperjelas beroperasinya kompradoriasi bisnis dalam ekspor benih lobster. Apalagi, yang terlibat di dalamnya berkelindan dengan pebisnisnya.

Selain masifnya para komprador yang beroperasi, modus semacam ini kerapkali melibatkan mafia atau eks mafia yang berbisnis lobster. Mereka dulunya pebisnis benih lobster di pasar gelap. Tatkala pasar ekspor dibuka lebar berbasis aturan. Mereka langsung berubah haluan sebagai eksportir legal.

Mereka ramai-ramai mengusulkan kuota tak peduli apakah usahanya sudah berlangsung lama atau baru beroperasi. Yang penting telah menggenggam izin dan kuota ekspor dari pemerintah.

Aturan PermenKP No 12/2020 yang baru keluar mensyaratkan adanya pemanenan berkelanjutan, kewajiban membudidayakan dan melepasliarkan 2 persen serta berdasarkan kajian Komnas Pengkajian Sumber Daya Ikan. Kenyataannya baru dua bulan sudah 26 perusahaan eksportir yang mengengaam izin usaha (Tempo, 2020).

Lalu kapan mereka memenuhi persyaratan dalam PermenKP? Artinya, aturan yang katanya mau memperbaiki tatakelola ekpor lobster. Malah dilanggar secara berjamah. Ada argumentasi yang dibangun yaitu mengkategorikan aktivitasnya pengumpul benih sebagai budidaya.

Sejak kapan ada terminologi begitu dalam kegiatan budidaya perikanan? Bukankah budidaya itu mulai dari proses pembenihan, pembesaran/pemeliharaan, penanganan hama/penyakit, hingga pemanenan.

Lebih ironisnya lagi, pemerintah bertindak sebagai eksekutor penentu harga di tingkat lokal yang berwenang menetapkan harga terendah. Motif semacam ini mengindikasikan pemerintah terkesan hendak berdagang sekaligus mencari rente ekonomi.

Kaum komprador bisa berasal dari kalangan aparat negara atau elit yang dekat kekuasaan. Bisa saja mereka dulunya pebisnis ilegal benih lobster atau memang hanya sekedar mengejar rente ekonomi. Kepustakaan ekonomi politik menyebut perilakunya sebagai birokrasi rente. 

Birokrasi yang kerjanya memburu rente ekonomi tanpa mempertimbangkan kepentingan keberlanjutan sumber daya hingga nelayan kecil. Nelayan kecil yang memanen benih lobster hanya dijadikan legitimasi buat memuluskan aktivitas bisnis. Nelayan kecil tak pernah mengetahui apakah harga yang diterimanya secara legal maupun ilegal dari pengusaha wajar atau tidak di pasaran?

Mereka pun tak paham fluktuasi harganya di pasar Vietnam maupun Singapura. Disinilah fenomena asimetri informasi berlangsung yang merugikan nelayan kecil pemungut benih lobster dan negara. Kementerian Keuangan pun sudah mengonfirmasi bahwa belum mengatur pungutan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) lobster.

Pembukaan kran ekspor benih lobster saat ini sejatinya menguntungkan dan merugikan siapa? Pertanyaan inilah yang menimbulkan kontroversi baru di jagad perikanan negeri ini.

Lalu, apakah bisnis-bisnis berbasis sumberdaya alam yang cepat menghasilkan fulus mesti dieksploitasi secara masif? Pemikiran jangka pendek semacam ini mustahil mensejahterakan nelayan kecil apalagi menjamin keberlanjutan stok sumberdaya lobster di alam.

Gurita Bisnis

Kebijakan membuka kran impor lobster telah membentuk gurita bisnis baru di Indonesia. Tak menutup kemungkinan di masa datang bakal berkembang komoditas baru yang jadi ladang bajakan para komprador dan pemilik modal. Apalagi ada rencana mau membebaskan kapal asing dan eks asing hingga alih muatan (transshipment) di tengah laut. Sudah pasti bakal lebih menggiurkan lagi.

Pasalmya, amat sulit mengontrol konspirasi antara pemilik kapal asing dan eks asing  dengan kompradornya di Indonesia.  Apalagi, pelaku alih muatan di tengah laut, siapa yang tahu datanya dan ukuran kapalnya? Apakah pemerintah akan mampu mengecek itu?

Artinya, PNBN dan pajaknya bakal menguap begitu saja. Ketika kebijakan ini dibolehkan, bakal perusahaan yang mengajukan izin bak jamur di musim hujan. Baik dari Indonesia maupun dari negara lain seperti Thailand, China, Vietnam dan Filipina. Bahkan akan muncul modus konspirasi bisnis, seolah-olah pemilik kapal ikannya orang Indonesia, padahal tetap saja perusahaan asing.

Caranya, mencatut nama kompradornya di Indonesia. Pastinya tak ada yang berani mengganggunya jika kompradornya elit politik, dan oknum aparat pemerintah bermental pedagang. Bagaimana tindakan Presiden? Presiden mesti menghentikan kebijakan ini dan jangan membiarkan perampasan sumberdaya dan ruang kelautan kita (ocean grabbing) merajalela.

Prrsiden juga mesti menghentikan cikal bakal terbentuknya gurita bisnis baru berbasiskan sumberdaya kelautan. Pasalnya, ia akan meminggirkan nelayan skala kecil dan pembudidaya lobster dalam negeri serta memperparah deplesi sumberdaya lobster. Pemerintah mestinya memprioritaskan pemberantasan kejahatan perikanan lobter berupa penyelundupan (unrepoerted) dan penangkapan ilegal (illegal fishing). 

Di samping itu pemerintah harus menggandeng perguruan tinggi, dan swasta/BUMN untuk mengembangkan riset dan pembenihan benih lobster di sentral-sentral perikanan lobster di Indonesia. Bila ini berhasil, mau ekspor tiap hari pun tak masalah. Kenapa justru kran ekspor yang dibuka lebar-lebar dengan alasan memiskinkan nelayan kecil dan mencegah penyelundupan?

Ada dugaan, dibalik semua ini mengandung muatan politik dan mobilisasi modal menuju kontestasi Pemilihan Presiden 2024. Dalam kaca mata ekonomi politik, keterlibatan kaum koprador tak terbantahkan. Mungkinkan Presiden punya kemauan dan kepekaan politik untuk menghentikan bangkitnya kapitalisme komprador?

Tergantung Presiden sendiri. Mau membela kepentingan nelayan kecil dan pembudidaya lobster dalam negeri. Atau, membiarkan perampasan sumberdaya lobster tanpa kendali hingga memicu kehancuran stoknya di alam oleh kaum kapitalis komprador. Kita tunggu langkah kongkrit pemerintah selanjutnya.

Oleh: Muhamad Karim
Direktur Pusat Kajian Pembangunan kelautan dan Peradaban Maritim
Dosen Bioindustri Universitas Trilogi Jakarta

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun