EKONOMI POLITIK LAUT NATUNA UTARA
Oleh: Muhamad Karim
Direktur Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim
Dosen Universitas Trilogi  Jakarta
Aksi kapal-kapal ikan China yang mencuri ikan di perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) yang dikawal kapal coastguard-nya memanaskan suhu politik hubungan Indonesia-China. Indonesia menganggap China telah memasuki ZEEI dan melanggar ketentuan hukum laut international (United Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS 1982). Â
Indonesia memang telah menamai batas maritimmnya di Laut China Selatan (LCS) menjadi Laut Natuna Utara (LNU). China tak mengakuinya, alasan ia punya hak historis atas perairan itu. Meskipun demikian, sesuai UNCLOS 1982 sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki "hak berdaulat" atas pemanfaatan sumber daya alam di badan air maupun dasar LNU. Di perbatasan maritim dengan LCN Â Indonesia memiliki perairan ZEEI, Zona Tambahan dan Landas Kontinen.Â
Merujuk UNCLOS 1982, China tak punya hak seenaknya menangkap ikan di perairan ZEE dan mengklaim perairan LNU. Pasalnya, ia telah meratifikasi UNCLOS 1982 dan mau tidak mau mesti tunduk pada ketentuan itu. Lain cerita, jika hanya melintas atau melayari perairan ZEEI karena Indonesia tak punya kedaulatan teritorial. Sebab, perairan ZEEI, bukan laut teritorial. Lantas mengapa China ngotot mengklaim mennggunakan dalil sejarah?
Kekayaan Laut
Laut Natuna Utara memiliki kekayaan sumber daya kelautan dan perikanan yang bernilai ekonomis bagi kepentingan nasional secara geopolitik maupun geoekonomi. Pertama, Perairan LNU termasuk wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia (WPPI) 711 yaitu Laut China Selatan. Potensi sumber daya perikanannya  1,143,341 ton per tahun.
Diantaranya, ikan pelagis kecil  395,451 ton, ikan pelagis besar 198,994 ton, ikan demersal 400,517 ton, ikan karang 24,300 ton, udang panaeid 78,005 ton, lobster 979 ton, kepiting 502 ton, rajungan 9,437 ton dan cumi-cumi 35,155 ton masing-masing per tahun (PermenKP No. 47/2016)
Kedua, di perairan LNU terdapat blok minyak dan gas. Cadangan minyak bumi mencapai 14.386.470 barel, sedangkan gas bumi 112.356.680 barel (04/01/2020). Produksi gas dan minyak di blok Natuna sejak 1986. Kapasitas gasnya mencapai 490,3 juta standar kaki kubik per hari sedangkan minyak dan kondesat 25.113 barrel per hari. Â
Wilayah kerja di ZEEI LNU yang berproduksi: Blok B Laut Natuna Selatan, Conoco Phillips Inc, Blok A Laut Natuna, Premier Oil Natuna Sea BV, Blok Kakap, Star Energy, serta Blok Udang, Pertamina EP dan Pertalahan Arnebatara Natuna (Kompas 24/07/2016).
Ketiga, perairan LNU merupakan salah satu alur laut kepulauan Indonesia (ALKI I). Jalur ini dilayari kapal-kapal kargo, tanker, barang hingga kapal ikan yang menangkap ikan di perairan itu. Sebagai pusat perlintasan kapal dagang dari Samudra Hindia serta menuju Samudra Pasifik, Laut China Selatan maupun laut Jepang, mencapai nilai ekonomi US$ 3,37 Â triliun (2016).Â
Komposisinya, China US$ 874 miliar, Singapura US$ 241 miliar, Thailand US$ 170 miliar, Vietnam US$ 158 miliar, Indonesia US$ 214 miliar, Malaysia US$ 106 miliar, Taiwan US$ 97 miliar, Filipina US$ 31 miliar dan Brunai Darussalam US$ 3 miliar. Nilai ekspor perdagangan Indonesia lewat  Laut Cina Selatan mencapai 84 persen dari totalnya (Katadata, 2020). Tampak China paling dominan, sehingga ngotot membuat klaim sepihak.
Keempat, potensi wisata bahari. Potensi obyek wisata bahari LNU berupa pantai, terumbu karang, gunung, air terjun, gua dan pulau-pulau kecil.  Kawasan pesisir pulau Natuna sendiri dikelilingi bebatuan granit (Alif Stone Park) yang jadi  objek wisata. Â
Pulau-pulau di LNU memliki pantai yang indah diantaranya pantai Batu Kasah, pantai Tanjung, pantai Teluk Buton, pantai Sahi, pantai Sisi, Pulau Tiga, pantai Cemaga, pantai Pasir Marus., Pulau Senua, Pulau Serasan, dan Pulau Setai. Â
Perairan LNU memiliki sekitar 270 pulau. Pulau-pulau ini terbagi: (i) Natuna Utara Pulau Laut; (ii) Natuna Tengah, Bunguran (atau Natuna Besar), dan (iii) Natuna Selatan, yaitu Kepulauan Subi dan Serasan. Potensi amat diperlukan China untuk jadi pangkalan militernya, seperti kepulauan Spratly (Spratly Islands)yang bersengketa dengan Filipina. Filipina menang di Mahkamah Internasional di Den Haag sebagai pemilik sahnya.
Isu Strategis
Soal aksi kapal Coast Guard China yang mengawal kapal ikannya mencuri ikan perairan ZEE Indonesia menimbulkan isu tiga strategis secara ekonomi politik. Pertama, rendahnya anggaran pertahanan Indonesia dalam APBN 2019 berjumlah 108,4 triliun. Aksi tersebut menimbulkan dugaan bahwa adanya  korelasi dengan isu pentingnya meningkatkan anggaran pertahanan Indonesia. Diperkirakan tahun 2020 anggaran pertahanan bakal melonjak 127,4 triliun tahun (Katadata, 2019). Bahkan, Presiden Jokowi berniat menaikkannya  hingga Rp 130 triliun (Detik.com, 2019).
Kedua, adanya dugaan akan membebaskan kembali kapal asing berotanse di atas 200 GT beroperasi di perairan ZEEI Indonesia. Pasalnya, sepanjang lima tahun terakhir bobot terbesar kapal ikan yang beroperasi Indonesia hanya sebesar 150 GT. Artinya, ukuran ini belum mampu beroperasi secara maksimal untuk memanfaatkan sumber daya perikanan di perairan ZEEI.Â
Sesuai hukum laut internasional (UNCLOS 1982), jika suatu negara pantai tidak mampu memanfaatkan ZEE-nya, maka kapal asing boleh melakukan penangkapan ikan. Apakah delik ini bakal dijadikan dasar bagi para pihak termasuk mafia perikanan yang menginginkannya supaya pemerintah Indonesia membuka kran beroperasinya kapal asing di ZEEI.Â
Jangan -- jangan kapal China, dan Vietnam  bakal mendapatkan izin terlebih dahulu. Termasuk membatalkan aturan Penghentian Sementara (Moratorium) Perizinan Usaha Perikanan Tankap (PermenKP No 10/2015),dan larangan alih muatan di tengah laut (PermenKP 57/2014). Â
Padahal, sepanjang 2014-2019 kapal asing tak dibolehkan sama sekali dan yang tertangkap lalu ditenggelamkan mencapai 556 buah. Mestinya, pemerintah Indonesia membangun armada perikanan tangkap di atas 200 GT beroperasi di ZEEI yang dilakukan perusahaan negara maupun nelayan sebagai bentuk perlindungan nelayan (UU No 7/2016), ketimbang mengundang kapal asing.
Ketiga, reposisi Badan Keamanan Laut yang dibentuk Peraturan Presiden (Perpres) No. 178/2014 sebagai perintah UU Kelautan No 32/2014. BAKAMLA bertugas melakukan patroli keamanan di wilayah perairan dan wilayah yurisdiksi Indonesia (Pasal 2). Badan ini bertanggungjawab langsung kepada Presiden lewat Kementerian Koordinator, bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam).Â
Sementara dalam mengelola dan memanfaatkan sumber daya kelautan berkoordinasi dengan Menkopolhukam dan Menteri Koordinator Kemaritiman (Pasal 1). Â Apakah kejadian di perairan LNU jadi alasan bagi pemerintah untuk mereposisi BAKAMLA Â agar berada dalam kewenangan Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi terkait pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan?
Ketiga isu ekonomi politik di atas berkelindan kuat dengan aksi-aksi kapal penjaga pantai China dan kapal ikannya menjarah ikan di perairan di LNU? Apakah China berkepentingan terkait pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan di perairan itu yang belum terakomodir dalam skema kerjasama dengan Indonesia selama ini?Â
Pasalnya China terlalu mengada-ada menggunakan dalil historis sementara ia sudah meratifikasi UNCLOS 1982. Pasalnya teritorial penangkapan ikan tradisional yang dipakai China berbeda pasca berlakunya UNCLOS 1982. UNCLOS 1982 hanya mengenal traditional fishing rights, bukan traditional fishing grounds. Makanya, klaim China menggunakan sembilan garis putus dalam petanya di LCS dipertanyakan Indonesia.
 Hak Berdaulat
Menjaga "hak berdaulat" sumber daya kekayaan laut dan perikanan di LNU jadi keniscayaan. Â Secara politik, Laut China Selatan bukanlah sepenuhnya milik China. Negara pantai lainnya juga memiliki "hak berdaulat" atas sumber daya di ZEE-nya seperti Filipina, Vietnam dan Malaysia. Posisi Indonesia amat kuat karena telah meratifikasi UNCLOS 1982 begitu pula China.Â
China tak bisa melanggar aturan yang dia ikut ratifikasi. Ketentuan  tersebut mengatur wilayah perairan Indonesia terdiri laut teritorial 12 mil, Zona Tambahan Indonesia (ZTI) 24 mil dan ZEE sejauh 200 mil. Pembagiannya bertujuan melindungi "hak berdaulat atas kekayaan dan yuridiksi" Indonesia terhadap wilayah perairannya.Â
Di perairan ZTI, Indonesia memiliki yurisdiksi pengawasan dalam mencegah dan menindak pelanggaran bea cukai, imigrasi, fiskal dan saniter. ZTI berdampingan dengan Laut Teritorial Indonesia (LTI) Â diukur sejauh 24 mil laut dari Garis Pangkal Lurus Kepulauaan.
Dalam UU ZEEI No 5/1982 (ratifikasi UNCLOS 1982), status perairan ZEEI sebagai laut lepas, termasuk  ruang udaranya hingga berlaku kebebasan pelayaran dan penerbangan.Â
Namun, Indonesia memilliki "hak berdaulat" atas kekayaan alam di badan air (sumber daya ikan), dasar laut dan bawah dasar lautnya sejauh 200 mil. Dalam konsep ZEE sumber daya alam ZEE diperuntukkan secara eksklusif bagi negara pantai yang disebut sebagai hak berdaulat (sovereign right). Di ZEEI LTU, Indonesia juga berhak menggunakan kebijakan hukumnya, kebebasan bernavigasi, terbang di atasnya, ataupun melakukan penanaman kabel dan pipa bawah laut. Â
Selain, ZEEI Indonesia juga memiliki landas kontinen (continental shelf) yakni wilayah dasar laut yang merupakan kelanjutan alamiah dari daratan pulau-pulau Indonesia (termasuk subsosil).Â
Jika, kelanjutan alamiahnya  bersifat landai, batas terluarnya ditandai adanya continental slope atau continental rise. Indonesia hak penguasaan penuh dan hak eksklusif atas kekayaan alam di Landas Kontinen dan kepemilikannya (Pasal 2 UU Landas Kontinen No 1/1973)
Sebagai negara berdaulat, Indonesia tak bisa berkompromi dengan China soal "hak berdaulat" atas sumber daya kelautan dan perikanan di perarain LNU. Bukan, kedaulatan (sovereignty) teritorial yang keliru dipahami selama ini. Disinilah substansi ekonomi politiknya, mengapa Indonesia harus mempertahankan "hak berdaulatnya" di LTU.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H