Aku tahu, kepalamu kian berat dan hidupmu bertambah penat.
Mau selonjor dan ongkang-ongkang saja kamu tak sempat.
-Joko Pinurbo-
Kota Jakarta dengan aneka problematikanya selalu didatangi orang dari penjuru nusantara. Tak terhitung banyaknya insan yang mencoba peruntungan hidup di ibukota. Jakarta yang makin sesak dari tahun ke tahun bak gula yang dihinggapi semut beramai-ramai.
Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil DKI Jakarta mencatat 37.443 pendatang baru memasuki Jakarta pasca Lebaran 2019. Secara keseluruhan setiap tahunnya rata-rata 100 ribu pendatang menetap di Jakarta.
Sebagaimana halnya yang terjadi dengan Tarman. Pria berusia 60 tahun tersebut berasal dari Brebes, Jawa Tengah. Pada 1980 ia merantau ke Jakarta.
Saat itu Tarman tinggal bersama pamannya yang memiliki usaha bengkel di Kebayoran, Jakarta Selatan. Selama 10 tahun Tarman mempelajari banyak hal. “Dari yang tidak tahu menjadi tahu. Dari yang tidak bisa menjadi bisa,” kata Tarman yang sore itu ditemui penulis di bengkel kecilnya.
Berbekal pengalaman tersebut Tarman memberanikan diri membuka usaha bengkel. Sekilas bengkel yang berdiri di atas saluran air itu terlihat sangat sederhana. Berdindingkan triplek dan berlantaikan kayu, bengkel itu berada di sisi jalan yang dilalui banyak kendaraan. Terbilang strategis. Tarman yang tinggal di RT 11 RW 06, Sunter Agung, Jakarta Utara itu menawarkan jasa perbaikan baik sepeda maupun motor. “Kalau ada onderdilnya di sini saya perbaiki,” tutur Tarman.
Seperti siang itu Tarman melayani sejumlah anak dengan keluhan sepeda yang rusak. Di masa pandemi COVID-19 ini sepeda menjadi hiburan tersendiri. Tidak hanya anak-anak, orang dewasa pun menjadikan sepeda sebagai sarana berolah raga. “Anak-anak, orang dewasa, juga orang tua dari wilayah sekitar datang ke bengkel ini,” tutur Tarman.
Dengan penuh kesabaran dan kehati-hatian Tarman memperbaiki sepeda. Sementara itu anak-anak menunggu sembari bercanda satu sama lain. “Ramainya tidak tentu. Kadang pagi ramai lalu sore sepi. Kadang pagi sepi lalu sore ramai. Kadang siang juga ramai,” ujar Tarman.
Tarman menetapkan biaya yang cukup terjangkau. Sebagai contoh, Rp 5.000 untuk mengisi angin di ban sepeda atau Rp 20.000 untuk memperbaiki beberapa bagian sepeda yang rusak. “Kalau ditanya suka dukanya, ramai ya senang, sepi ya pusing,” tutur Tarman sambil tertawa.
Penulis sendiri beberapa kali mendatangi bengkel Tarman untuk mereparasi sepeda. Selain jaraknya yang sangat dekat dari rumah, keramahan Tarman menjadi sebuah kelebihan.
Tak hanya memiliki usaha bengkel, Tarman juga menjual kopi. Pada musim kemarau, Tarman menjual es kelapa. “Ketika bulan Ramadhan, saya menjual gorengan,” tutur Tarman yang pernah bekerja di usaha es mambo selama satu tahun.
Tak terasa, 10 tahun sudah Tarman menekuni usahanya. Setiap harinya di usia yang tak muda lagi ia bekerja pada pukul 08.00-17.00. Sementara itu sang istri membantu perekonomian keluarga dengan menjadi asisten rumah tangga di beberapa rumah.
Tidak mudah menjalani hidup di kota besar. Seperti halnya Tarman beserta keluarganya yang menempati bangunan tua yang dulunya sekolah. Dari luar bangunan itu tampak tak terawat. Di malam hari bangunan itu terlihat agak menyeramkan. Ketika hujan deras turun berhari-hari banjir pun menghadang. Selain itu usia bangunan yang sangat tua memungkinkannya runtuh sewaktu-waktu.
Tak ada pilihan lain bagi Tarman ketimbang menyewa rumah yang tentunya membutuhkan biaya tak sedikit. Tampak beberapa keluarga juga menghuni kompleks sekolah yang sebenarnya jauh dari layak untuk ditinggali. Walaupun sesungguhnya menyalahi aturan, keadaan yang mendesak mereka melakukan hal tersebut.
Ketika disinggung perihal pengaruh pandemi COVID-19 terhadap usahanya, Tarman menunjukkan raut wajah sendu. Tak banyak orang mendatangi bengkelnya. Berbeda dengan kondisi sebelum pandemi. Orang datang silih berganti dengan bermacam-macam masalah. “Terasa sekali bengkel ini sepi. Mungkin orang takut ke luar rumah,” tutur Tarman dengan nada pilu.
Menyambung hidup dalam keadaan yang pelik seperti saat ini. Bagaikan mengarungi lautan luas, kapal yang dinakhodai Tarman tengah terombang-ambing.
Namun demikian Tarman bersyukur atas usaha bengkel yang telah menjadi benteng kehidupan keluarganya. Saat ini anak pertamanya telah bekerja dan anak keduanya duduk di kelas 3 SMA. “Saya hanya bisa memperbaiki sepeda. Saya akan terus berusaha dan menjalani apa yang ada,” kata Tarman.
Ke depannya jika memiliki tambahan modal, Tarman ingin mengembangkan usahanya dengan memperbanyak onderdil otomotif. Ia menyampaikan selama ini onderdil dibeli di Senen. “Sebelumnya saya beli di Jembatan Lima. Sekarang cari yang dekat saja,” tutur Tarman.
Di akhir obrolan, terselip harapan untuk Tarman. Semoga Jakarta tetap menjadi rumah yang hangat bagi Tarman dan keluarganya. Walaupun tantangan datang tak berkesudahan, setidaknya saat ini mereka masih bisa meniti kehidupan dari hari ke hari.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H