Kelapa atau cocos nucifera digadang-gadang sebagai pohon kehidupan. Semua elemen yang melekat padanya, dari akar, batang, daun, hingga buah menghasilkan manfaat yang luar biasa. Pada kelapa, pria ini bertumpu. Pada kelapa, berjuta angan dilambungkan untuk hari esok yang lebih baik.
Maria bergegas meninggalkan rumahnya. Jarum jam menunjukkan angka 7. Ia menelusuri lapak demi lapak di sebuah pasar di Jakarta Utara. Usaha Maria tak sia-sia. Gerobak berisi tumpukan kelapa terparkir di depan sekolah. Tak lama Maria membawa pulang empat kelapa hijau yang merupakan asupan bagi fisik anaknya yang melemah.
Selama tiga minggu Maria tak pernah absen membeli kelapa hijau. Menurutnya, si penjual terlihat ramah dan selalu tersenyum. Kini Maria tak perlu berjalan jauh untuk mendapatkan kelapa hijau seperti sebelumnya. “Dia adalah satu-satunya penjual kelapa hijau di pasar ini,” tutur Maria.
Lima tahun sudah Didi menjual kelapa. Pekerjaan yang dilakoninya setelah tiga tahun berjualan perabotan rumah tangga. “Entah itu musim kemarau atau musim hujan, kelapa tetap dicari orang,” kata Didi yang berusia 40 tahun.
Setiap hari, dari Senin sampai Minggu Didi mendorong gerobaknya ke depan sekolah. Ia berada di sana pada pukul 06.00-12.00. Selanjutnya Didi memindahkan gerobaknya ke lokasi berbeda, di depan gereja hingga pukul 21.00. “Saya memilih berjualan di dua tempat itu yang selalu ramai walaupun tidak menentu. Kadang pagi hari ramai, kadang siang atau sore,” ujar Didi yang berasal dari Cirebon.
Didi yang tinggal di RT 07 RW 08, Sunter Agung, Jakarta Utara menyampaikan, kelapa yang dijualnya dikirim dari Serang. Baik kelapa muda maupun kelapa hijau digemari pembeli. Kelapa muda dihargai Rp 12 ribu, sementara itu kelapa hijau Rp 13 ribu.
Kelapa hijau biasanya dicari orang untuk mengobati panas dalam atau membersihkan diri dari nikotin rokok. Sementara itu kelapa muda dikonsumsi sebagai minuman yang menyegarkan atau penambah cairan.
Didi menilai, hasil dari berjualan kelapa mencukupi kebutuhan hidup keluarganya sehari-hari. Dari berjualan kelapa pula Didi mampu membiayai pendidikan dua anaknya yang saat ini duduk di bangku SMP. “Omset yang didapat diputar lagi untuk modal esok harinya,” tutur Didi yang tengah melepas lelah saat ditemui penulis sore itu.
Didi yang menetap di Jakarta sejak 2012 mengungkapkan rasa syukur atas pekerjaan yang dilakoninya. Baik ramai maupun sepi pembeli dihadapi dengan optimisme yang tinggi. Terlebih di masa pandemi COVID-19 ini. “Kalau ramai alhamdullilah, kalau sepi yang penting hasilnya bisa untuk makan,” kata Didi.
Tantangan lain yang dirasakan Didi adalah perubahan cuaca yang sangat cepat dan tak bisa diprediksi. Pagi hari panas, tak berapa lama hujan deras melanda. “Kalau hujan saya pilih berteduh,” tutur Didi.
Dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, Didi mengakui adanya penurunan omset hingga 30%. Penurunan omset tersebut dirasakan sejak April 2020. “Berjualan kelapa adalah satu-satunya pekerjaan yang saya miliki. Saya akan terus berjualan kelapa,” kata Didi.
Apakah Didi sempat terpikir mencari pekerjaan lain? Ketika disinggung hal tersebut, Didi menyampaikan keinginannya untuk membuka usaha lain. Namun kendala modal menghalanginya. “Saat ini saya belum siap modal. Kalau ada modal mungkin hidup tidak seperti ini,” ujar Didi.
Berjualan kelapa menjadi satu-satunya pertahanan Didi. Siasat di masa penuh problematika. Walaupun hasilnya belum seperti yang diharapkan, berjualan kelapa dipandang Didi sebagai profesi yang bisa ditekuninya saat ini. “Untuk sementara saya menekuni apa yang ada. Kalau ada modal saya ingin berjualan yang lain,” kata Didi.
Dukungan
Berbincang-bincang dengan Didi yang merupakan pelaku usaha kecil memunculkan asa dalam diri penulis. Kondisi saat ini memang tidak mudah untuk dilalui. Namun selalu ada hal yang bisa disyukuri.
Selama kita masih memiliki rumah untuk berteduh dari panas dan hujan, makanan yang terhidang di meja makan, hingga menjalani aktivitas dengan kondisi bugar, selama itu pula kita selayaknya bersyukur. Mungkin ada dari antara kita yang mengutuk keadaan. Memandang dirinya sebagai insan yang paling menderita. Manusiawi memang.
Arahkan hati kita untuk melihat keadaan di sekeliling. Ketika kita mengarahkan pandangan ke atas akan timbul rasa tak pernah cukup. Coba arahkan pandangan ke bawah. Masih banyak orang yang berjuang hanya untuk makan pada hari ini.
Di mata penulis, saat membeli produk yang ditawarkan pelaku usaha kecil seperti warung, kita sekaligus membantu kehidupan mereka termasuk keluarganya. Pemulihan ekonomi negeri akibat pandemi COVID-19 perlu dilakukan dari level terbawah di masyarakat. Kita sebagai rakyat bisa membantu sekecil apapun upaya itu.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI