Bersyukur. Itu kata kuncinya menapaki hidup. Membahagiakan keluarga dengan tak lupa memajukan kapasitas diri.
‘Menjadi ibu bekerja adalah cita-cita saya sejak dulu’. Demikian pengantar yang disampaikan kakak saya, Christofora saat saya bertandang ke rumahnya yang asri di bilangan Tangerang Selatan. Christo begitu ia biasa disapa sore itu tengah menyuapi putri bungsunya yang baru berusia tiga tahun, Anna.
Hari itu adalah hari Minggu. Asisten rumah tangga (ART) yang biasa membantunya dibebaskan menikmati libur satu hari. Saat itu ART tengah berjalan-jalan ke mall bersama temannya sesama ART. Sementara di luar putri sulungnya yang berusia delapan tahun, Sophie asyik bermain bersama teman-teman seusianya.
Sebuah foto dengan raut muka bahagia dari sepasang pengantin terpajang dengan gagah. 1 Juli 2007 adalah momen istimewa bagi Christo dan suaminya Ronald. Satu tahun lamanya memadu kasih hingga Tuhan mengikat mereka sebagai pasangan suami istri. Ketika itu di hadapan Tuhan mereka berjanji selalu bersama baik dalam suka maupun duka, dalam untung dan malang, di waktu sehat maupun sakit.
Janji itu kini harus mereka perjuangkan dan buktikan. Pasalnya Christo harus menjalani long distance marriage dengan sang suami yang bekerja di timur Indonesia sejak awal tahun ini. Setiap empat bulan sang suami pulang melepas rindu bersama keluarga tercinta.
Jarak kini tak menjadi penghalang. Teknologi memungkinkan hal itu terjadi. Setiap malam ayah, begitu Ronald disapa oleh buah hatinya tak alpa melakukan face time. Mereka berbagi kabar. ‘Ayah, di sana jam berapa’. Itu adalah kalimat yang selalu ditanyakan dua malaikatnya. Walau terpisah lautan, Christo dan pasangannya selalu saling menyemangati, memotivasi, dan mendukung apapun itu pilihan masing-masing. Sebagaimana dukungan yang diberikan Ronald kepada istrinya yang melanjutkan pendidikan di tingkat master dalam bidang pendidikan.
Pesan sang ayah kepadanya juga menjadi pegangan Christo, ‘sekalipun kamu perempuan, gapai cita-citamu, perempuan dan laki-laki berhak untuk itu’. “Saya bersyukur ayahnya anak-anak memberikan support. Kami tak mengenal istilah istri selamanya di bawah suami. Meskipun pendidikan saya lebih tinggi dari suami, saya tetap menghormatinya sebagai kepala rumah tangga,” ujar Christo yang sesekali mengawasi Sophie dari balik pagar.
Menapaki usia 36 tahun pada Februari lalu merupakan sebuah anugerah untuk Christo yang bekerja sebagai guru. Maknanya begitu dalam seiring dengan usia yang bertambah. Bukan berarti fisik yang mengendur, melainkan semangat yang semakin membara.
Pada pertengahan tahun ini Christo mendapati ada kista di kandungannya. Memang selama ini ia mengeluh selalu sakit di kandungannya menjelang menstruasi. Atas saran ibu tercinta, ia mengonsumsi suplemen. Perlahan kista itu mengecil. Pengalaman itu menjadi landasan bagi Christo untuk memperhatikan makanan dan pola hidup. Ia ingin menjadi saksi setiap peristiwa yang dialami dua buah hatinya. Apalagi mereka masih membutuhkan kasih sayang dalam perkembangannya.
Bekerja, kuliah, dan menjadi ibu. Itulah tantangan yang kini dihadapi Christo. Baginya semua itu tidak dianggap beban melainkan peluang untuk menjadikan dirinya semakin bertumbuh sebagai pribadi yang dewasa. Dewasa secara perbuatan dan pikiran. Christo bersyukur atas kehadiran ART yang selalu mendampingi anak-anaknya saat ia tidak berada di rumah. Untuk itu Christo menjalin relasi dan komunikasi yang baik dengan ART, seperti menelepon pada siang dan menjelang sore guna memantau aktivitas Sophie dan Anna.
Sesampainya di rumah usai bekerja, walaupun letih menghadang, Christo sabar mendengarkan celoteh putri-putrinya mengenai keseharian mereka. Sophie bercerita dengan sangat antusias perihal teman-temannya di sekolah sementara si kecil memeluk manja tubuhnya sebagai tanda kerinduan.
Sebelum tidur Christo menyempatkan diri memeriksa tugas putri sulungnya dan mendampinginya belajar menghadapi tes esok hari. “Saya selalu mengingatkan Sophie untuk menyiapkan perlengkapan sekolahnya. Namanya juga anak, kita tak boleh lelah mengingatkan,” kata Christo yang hobi membaca.
Ibu Bahagia, Keluarga Bahagia
“Ini gambar dari siapa”, tanya saya sambil menunjuk sebuah karikatur unik.
“Dari murid,” jawab Christo seraya menuangkan air ke gelas dan menyodorkannya kepada Anna.
Christo yang tak hanya dicintai keluarga kecilnya, juga murid-muridnya. Pribadinya yang ramah, supel, dan humoris melekat dalam benak setiap anak didiknya. Ia kerap menunjukkan beberapa barang pemberian muridnya yang telah lulus SMA, antara lain buku dan aksesori wanita.
Memasuki fase 35 tahun ke atas tidak menyurutkan langkah Christo untuk terus maju dalam berkarya. Banyak mimpi yang ingin diukirnya. Hal itu pula yang ditularkan kepada anak-anaknya yang semakin hari beranjak besar. Seperti Sophie yang diajarkan konsisten mengejar mimpinya dengan tekun berlatih balet. “Apapun pilihan yang akan mereka ambil, saya selalu mendukung. Saya tak ingin memaksakan kehendak,” tutur Christo yang merupakan lulusan Pendidikan Bahasa Inggris.
Saat berada di rumah Christo memilih menghabiskan me time dengan membaca buku. Bila bersama teman-temannya, mereka berbagi kisah mengenai hidup masing-masing sambil menikmati kopi bersama. “Cara itu saya rasa baik dan perlu dilakukan oleh ibu bekerja lainnya. Bayangkan saja bila kita terus bergelut dengan pekerjaan dan urusan rumah tangga. Tentunya otak akan letih. Luangkan waktu sejenak untuk bergaul dengan lingkungan di luar hal-hal itu. Sebab ibu yang bahagia akan menghasilkan anak dan keluarga yang bahagia pula,” ujar Christo sambil merapikan mainan Anna yang berserakan di lantai.
Biasanya usai ritual me time itu Christo merasakan kesegaran baru yang sangat bermanfaat untuk menjalani agenda berikutnya. Ilmu itu ia peroleh dari sang ibu yang juga seorang ibu bekerja. Di masa kecil Christo memperhatikan ibu yang asyik menjahit sebagai pilihan me time-nya. Saat itu memang belum banyak hiburan seperti masa kini.
Ibu yang menjadi sosok panutannya juga merupakan sebuah anugerah bagi Christo. Bila mengalami kebingungan atau kesulitan, ibu menjadi tempatnya mengadu. “Saat Sophie masih berusia tiga bulan dan kami belum memiliki ART, saya bersyukur untuk orangtua yang bersedia membantu merawat Sophie selagi saya dan suami bekerja,” kata Christo yang dikenal talkative di kalangan teman-temannya.
Selama saya berbincang dengan kakak yang terpaut usia empat tahun ini, saya menemukan kata ‘bersyukur’ senantiasa diucapkannya. Agaknya hal itu yang membuat wajahnya terlihat fresh. Bahkan terkadang saat kami berjalan bersama, orang-orang mengira saya adalah kakaknya. Mungkin karena badan saya yang lebih gemuk ketimbang dia. “Lakukan yang terbaik dan biarkan Tuhan melakukan bagian yang tidak bisa kita lakukan. Dengan kata lain, berserah. Setiap pagi sebelum beraktivitas saya selalu menyempatkan diri berdoa, memohon bimbingan Tuhan agar saya kuat menjalani hidup ini,” jawab Christo ketika ditanya mengenai kata ‘bersyukur’ yang berulang kali keluar dari mulutnya.
Terima kasih kakak untuk inspirasi kehidupan yang kau bagikan. Saya yakin kau akan menjadi pribadi luar biasa yang berharga di mata Tuhan dan sesama. Semoga ungkapan syukur yang tak pernah lupa kakak utarakan akan berbuah baik dalam kehidupan kakak selanjutnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H