Aroma kue dari oven atau soto ayam yang dihidangkan di mangkuk memberikan pengaruh baik untuk kesehatan mental. Pengaruh tersebut akan semakin terasa ketika makanan itu tidak hanya dinikmati oleh diri sendiri, juga orang lain.Â
Melihat keluarga menambah porsi makanan atau senyum yang tersungging di bibir mereka setelah menyantap hidangan memberikan kesenangan tersendiri untuk saya. Kelelahan berjam-jam di dapur seketika hilang.
Hal yang saya rasakan tersebut dikenal sebagai altruistic cooking atau melakukan sesuatu untuk orang lain. Makanan menjadi sarana menjalin relasi dengan orang lain atau berkenalan dengan orang baru. Makanan jua menjadi instrumen menghibur dan merayakan.
Setiap momen istimewa dalam keluarga tentu tidak lengkap tanpa kehadiran makanan. Seperti ulang tahun saya beberapa waktu yang lalu. Kala itu saya memasak nasi kuning beserta pelengkapnya, yaitu ayam goreng lengkuas, kering tempe, telur dadar iris, sambal tomat, dan bihun goreng.Â
Apresiasi yang diterima dari keluarga setelah mencicipi makanan buatan saya mampu membangun rasa percaya diri.
Jika hasil masakan tidak sesuai dengan yang diharapkan, tidak perlu berkecil hati. Anggap kegagalan sebagai pembelajaran. Dengan demikian kalian tidak akan mengulangi kesalahan yang sama di masa mendatang.
Memasak itu membutuhkan praktik. Koki hebat termasuk tukang masak rumahan sekalipun memerlukan waktu bertahun-tahun guna terus mengasah keahlian.
Seberapa besar pengaruh therapeutic cooking terhadap aspek kesehatan mental? Â Memasak terbukti memberikan hasil nyata atas semua usaha yang dikerahkan.Â
Hal itu dinamakan behavioral activation. Artinya, di dalam kegiatan memasak kita menemukan makna kehidupan. Hasil nyata dari aktivitas memasak tidak hanya makanan yang enak, juga sebuah penghargaan kepada diri sendiri.
Di masa pandemi ini terkadang saya merasakan kebimbangan akan masa depan. Agenda tahun ini entah kapan terealisasi. Kekalutan semakin terasa ketika membaca berita tentang Covid-19 di media.